Compare hotel prices and find the best deal - HotelsCombined.com

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Sunday, September 29, 2013

Pengertian Sistem Perbankan Indonesia

Secara etimologi bank berasal dari bahasa Italia yang berarti bantu atau pembantu. Namun seiring berjalannya waktu, pengertian bank meluas menjadi suatu bentuk pranata sosial yang bersifat finansial, yang melakukan kegiatan keuangan dan melaksanakan jasa-jasa keuangan. Pengertian mengenai perbankan ini juga di atur secara jelas didalam peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 

Sistem perbankan Indonesia adalah sebuah tata cara, aturan-aturan dan pola bagai mana sebuah sektor perbankan (dalam hal ini bank-bank yang ada) menjalankan usaha nya sesuai dengan ketentuan (sistem) yang dibuat oleh pemerintah. Sistem perbankan di Indonesia terbangun dengan kosep yang dilandaskan pada sistem perekonomian yang ada. Indonesia menetapkan sistem perekonomiannya sebagai sistem ekonomi yang demokrasi sesuai dengan landasan negara yaitu Pancasila. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Azas Perbankan Indonesia, pada Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992, yang berbunyi : “Perbankan Indonesia dalam menjalankan Usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-hatian”. Demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan UUD 1945. 

Dalam menjalankan sebuah sistem perbankan yang baik, perlu ada nya pilar-pilar yang menyangga agar sebuah sistem tersebut dapat berjalan. Dalam sistem perbankan indonesia, pilar ini disebut dengan arsitektur perbankan indonesia (API). Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan[2]. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. 

Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut. Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM. 

Saturday, September 28, 2013

OBAT-OBATAN UNTUK PENUMPANG


Penyediaan obat untuk penumpang merupakan bagian dari pelayanan dalam penerbangan teruama untuk pertolongan awal terhadap gangguan kesehatan. Beberapa obat yang perlu disediakan bagi beberapa kejadian khusus yang dapat terjadi dalam penerbangan sebagai pengobata pertama : 


1. Penurun glukosa 

Bagi penumpang yang mengalami hipoglikemi, terapi sederhana dapat diberikan minum larutan glukosa. Jika ada dokter, penyediaan obat-obatan seperti insulin, antidiabetes oral, tolbutamid, glibenclamid perlu disediakan. 

2. Gangguan pernapasan 

Gangguan pernapasan seperti asma perlu disediakan oksigen (masker oksigen tersedia ditiap tempat duduk penumpang), salbutamol (ventolin) sebagai bronkordilator, sediaan aerosol (inhaler) atau oral. 

3. Gangguan kardiovaskuler 

Untuk gangguan seperti angina dan infark perlu disediakan sediaan aerosol gliseril nitrat dan juga oksigen. 

4. Gangguan saluran cerna 

Gannggaun umum antara lain mual muntah mabuk perjalanan yang bersifat local atau sentral (pusat muntah). 

Perlu disediakan oralit untuk menanggulangi dehidrasi, obat anti muntah seperti dimenhidirnat atau metoklopramid. Untuk mengatasi hipersekrsi asam lambung dapat disediakan antasida. 

5. Kotak P3K wajib disediakan dalam penerbangan. 



KESIMPULAN 



1. Penerbang dan juga awak pesawat lainnya memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan sebuah misi terbang, oleh karenanya harus selalu berada dalam kondisi kesehatan yang benar-benar prima baik secara fisik maupun secara psikologis. 



2. Selama dalam menjalankan tugas awak pesawat tidak boleh berada dibawah pengaruh obat-obatan tertentu. Maka penggunaan obat-obatan bagi awak pesawat harus dibawah pengawasan orang yang mempunyai pengetahuan tentang berbagai sifat farmakologi obat, dalam hal ini adalah Dokter Penerbangan, segala bentuk self medication harus dihindarkan. 



3. Penggunaan alkohol dalam berbagai bentuk, obat-obatan penghilang kecemasan serta obat-obat psikotropik lainnya harus dihindari selama bertugas. Penerbang yang mendapat terapi dari kelompok obat ini, perlu diperhatikan rentang waktu antara pemberian dosis terakhir sampai kapan ia boleh bertugas kembali. 



4. Penggunaan narkoba seluruh penerbang, dan juga awak pesawat lainnya mutlak dilarang, karena dapat merusak disiplin dan performa terbang sehingga meningkatkan resiko terjadinya insiden atau kecelakaan. 



5. Dokter penerbangan berwenang menentukan apakah seorang penerbang dapat tetap menjalankan tugas atau harus berhenti sementara selama menjalani pengobatan. 



6. Bagi penerbangan sipil untuk meningkatkan pelayanan kepada para penumpang dapat disediakan obat-obatan untuk pertolongan pertama selama dalam penerbangan. 



7. Jiwa airmanship awak pesawat harus selalu dijaga agar misi terbang berhasil dan keselamatan tetap terjaga. 


PUSTAKA 


1. Al sarmet Dr., Vaccination for aviator, Aviation Medicine, Spring, 1999. 

2. Daugal Watson, Effect of Alcohol on pilot performance and safety, AV Media, 1997 

3. Direktorat Kesehatan TNI AU, Dasar-dasar Kesehatan Penerbangan, Jilid I dan II, Jakarta, 1995 

4. Goeswin Agus, prof dan Andreas Sumardji, Obat-obatan dalam Penerbangan, Simposium Pendidikan Kesehatan Penerbangan Berkelanjutan, Bandung 2001. 

5. PT. Pfizer Indonesia, Informasi Produk Viagra 

6. Rudge, Drug and Flier, in USAF fligt Surgeon’s Guide. 

7. Soemarwoto, Airmanship untuk keselamatan terbang, Simposium Kesehatan Penerbangan Berkelanjutan, Bandung 2001.

BEBERAPA PENGARUH OBAT-OBATAN DALAM PENERBANGAN

1. Antibiotik. Pemakaian antibiotik secara umum diperbolehkan untuk pengobatan terhadap penyakitnya selama tidak ada efek samping yang mempengaruhi performa terbang. Namun dapat saja karena kondisi penyakitnya maka awak pesawat tidak boleh bertugas selama menjalani pengobatan. Penggunaan ampisillin, amoksisillin, eritromisin, tetrasiklin, siprofloksasin diperbolehkan selama tidak ada efek samping yang menggaggu. Minosin (minisiklin HCl) tidak boleh karena efek sampingnya terhadap vestibuler. Sufonamid tunggal atau kotrimoksasol dalam jangka pendek boleh dipergunakan tetapi dalam penggunaan dalam jangka waktu lama perlu dihindari, efek samping yang umum adalah mual, muntah, anoreksia. Efek samping yang tidak umum alergi dan gangguan penglihatan. Golongan aminoglikosida tidak diizinkan karena efek sampingnya terhadap vestibuler dan cabang kohlear di saraf cranial ke 8. klorokuin atau kombinasinya boleh dipergunakan selam tidak ada efek samping yang mengganggu, efek samping yang sering timbul anatara lain sakit kepala , gangguan penglihatan, drawsiness, gangguan kardiovaskuler yang hanya muncul pada overdosis. Izoniasid dapat digunakan untuk pencegahan penyakit tuberculosis dibawah pengawasan dokter penerbangan karena dapat menimbulkan kerusakan hati khususnya pada usia diatas 35 tahun. 



2. Obat antihistamin. Loratadin dan astemizol dapat digunakan dalam batasan indikasi dan dosis yang tepat untuk alergi. Antihistamin yang bersifat sedasi misalnya CTM tidak boleh digunakan oleh awak pesawat selama bertugas, karena dapat mempengaruhi ketrampilan psikomotor. Obat flu yang mengandung antihistamin dan dekongestan misalnya efedrin tidak boleh digunakan karena efek sampingnya antara lain mulut kering, takikardia, aritmia, hipertensi, pandangan kabur yang sangat berbahaya untuk tugas terbang. Penerbang baru boleh bertugas kembali minimal setelah 12 jam terhitung dari pemberian dosis terakhir. 



3. Antihiperlipidemia FAA mengijinkan penggunaan gemfribrosil dan simvastatin sebagai penurun kadar kolesterol darah dengan cacatan tidak timbul efek samping yang mengganggu. 



4. Antidiabet IDDM(insulin dependent dibetus miletus) merupakan factor diskualivikasi sebagai penerbang, namun beberapa penerbang sudah dijinkan FAA untuk menggunakan antibiabet oral untuk mengontrol kadar gula darahnya. Laporan hasil kontrol kadar gula darah untuk pembuktian stabilitas klinis gula darah menjadi evaluasi FAA. 



5. Obat untuk mengatasi jet lag. Jet lag disebabkan karena perjalanan melintasi beberapa daerah waktu terutama dari barat ke timur yang menyebabkan gangguan keseimbanan circadian rithm atau biological clock. Hal ini mengakibatkan tergangguanya siklus tidur-bangun dengan gejala yang timbul sulit tidur, sakit kepala, sulit konsentrasi, rasa tidak enak di lambung. Melatonin dengan dosis 1- 3 mg sebelum tidur dapat mengatasi jet lag. 



6. Viagra. Viagra(sildenafil sitrat) tidak boleh dipergunakan oleh penerbang selama bertugas.efek samping yang biasa timbul adalah sakit kepala 16 %, muka merah 10 %, dyspepsia 7 %, hidung tersumbat 4 %, infeksi traktus urinarus 3 %, gangguan penglihatan 3 %, diarea 3 %, ruam 2 %. Gangguan penglihatan terutama perubahan warna penglihatan, peningkatan sensitivitas terhadap cahaya atau pandangan kabur. Meskipun boleh digunakan selama tidak bertugas tetapi dikontraindikasikan untuk pasien yang secara bersamaan menggunakan nitrat organic misalnya isosorbidinitrat baik secara reguler maupun intermiten dalam segala bentuk sediaan. Selain itu juga dikontraindikasikan pada pasien yang mempunyai potensi resiko jantung pada aktivitas seksual pada pasien-pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler. 



7. Obat-obat alternatif/tradisional. Obat-obat alternatif untuk penerbang harus diwaspadai, karena efektifitasnya belum terbukti secara klinis, data farmakokinetik, farmakodinamik, dan data klinis lainnya belum tersedia sehingga keamanannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Apalagi di Indonesia banyak pabrik obat tardisonal nakal yang dengan sengaja menambahkan zat aktif tertentu ke dalam produknya misalnya : dekametason, fenilbutazon, parasetamol, diazepam dan sebagainya dengan maksud agar kasiatnya terasa lebih “ces pleng”. 



8. Obat-obat kontrasepsi. Obat-obat kontasepsi boleh digunakan oleh penerbang selama tidak timbul reaksi hipersinsivitas yang mengganggu tugas terbang. 



9. Imunisasi. Iminisasi atau vaksinasi untuk pencegahan penyakit perlu dilakukan terhadap awak pesawat atau penumpang yang akan bertugas ke daerah endemic. Telah ada peraturan internasional tentang imunisasi untuk pencegahan penyakit. Vaksin-vaksin tersebut antara lain vaksin antrak, kolera, deteri, tetanus, hepatitis A/B, influenza, Japanese encephalitis, campak, plague, pneumofax, polio, thifoid, dan demam kuning. 



Atas dasar kriteria penggunaan obat oleh penerbang, dapat dikelompokkan sebagai berikut : 



1. Obat yang diperbolehkan bagi penerbang tanpa meninggalkan tugas terbang misalnya : 



a. Obat local :antialergi, antiradang, antifungi. 

b. Analgetika dosis tunggal aspirin, asetaminopen, ibuprofen 

c. Hipersekresi asam lambung : antasida 

d. Supositoria haemoroid 

e. Diarea tanpa demam : antidiarea non spesifik seperti Bi-subsalisilat/Bi 

subnitrat. 

f. Obat untuk menghindari terjadinya blokade telinga selama penerbangan : 

tetes hidung oksimetasolin atan fenilefrin 



2. Obat yang diperbolehkan bagi penerbang dalam tugas dengan catatan tidak ada efek samping idiosinkresi/individual. 



a. Isoniazid perlu pengamatan tanpa tugas selama 7 hari. 

b. Kontrasepsi : implan progestrin atau estrogen-progestin, minimum perlu pengamatan tanpa tugas selama 28 hari. 

c. Kloroquin fosfat, primaquin, doksisiklin untuk profilaktik malaria perlu observasi tanpa tugas untuk dosis tunggal. 

d. Antimabuk hanya boleh untuk siswa dalam program latihan, namun sebaikknya dilakukan penaggulangan tanpa obat. 

e. Penanganan diare dengan doksisiklin (100 mg) dua kali sehari selama 5 hari. Kadang digunakan untuk profilaktik terhadap diare dengan batasan maksimum 2 minggu. 

f. Antibiotik eritromisin, oxicilin, dikloksasillin dan penisilin oral untuk infeksi asimptomatik. 

g. Sediaan sussositoria dan krim vaginal untuk iveksi vaginal. 

h. Kolestiramin untuk mengontrol hiperlipidemia. 



3. Penggunaan obat yang harus meninggalkan tugas terbang 

Meninggalkan tugas terbang selama penggunaan obat juga digunakan untuk mengevaluasi hasil penggunaan obat dan efek samping yang timbul. Bila tidak , terapi baik tanpa efek samping maka didokumentasikan dan ditentukan penggunaan obat tersebut untuk selanjutnya. 



a. Untuk mengontrol hipertensi : hidroklortiazid, triametren. 

b. Untuk pengobatan gout/hiperurikemia, allopurinol, probenesid. 

c. Untuk kontrol glaucoma secara pemakaian topical, timolol, epinefrin. 

d. Pengobatan tukak lambung/duodenum : sukralfate. 

e. Untuk rinitis alergi/non alergi/vasomotor dipergunakan inhalasi beclometazon, kromolin, observasi rinitis 7-14 hari. 

f. Pengobatan tukak lambung dengan ranitidine oral. 

g. Pengobatan injeksi jamur dengan griseofulfin perlu pengamatan 4 minggu. 

h. Antihiperlipidemia seperti lovastatin dan gemfibrosil. 



TINJAUAN TENTANG OBAT-OBATAN DALAM PENERBANGAN

Dalam kaitannya dengan penerbangan dapat dibedakan penggunaan obat untuk penerbang dan awak pesawat lainnya dan penggunaan obat untuk para penumpang pesawat. Penggunaan obat baik obat bebas ataupun obat yang harus dengan obat dokter penggunaannya harus sepengetahuan dokter penerbangan. Saat ini banyak sekali iklan-iklan obat bebas yang mengatakan bahwa produknya bebas efek samping, tidak menimbulkan ngantuk dan hal-hal lain yang dapat merangsang awak pesawat untuk melakukan self medication, hal ini tidak boleh terjadi sehingga diperlukan suatu komunikasi yang dilandasi keterbukaan dan kerjasama antara awak pesawat dengan dokter penerbangan. Penggunaaan obat-obatan oleh awak pesawat perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : 


1. Obat yang diperlukan untuk kesehatan atas dasar pemeriksaan teliti dari dokter penerbasngan misalnya antibiotik. 



2. Obat yang digunakan baik efek utama, efek samping dan efek toksiknya tidak mempengaruhi stamina penerbang bagi tugasnya yang menjamin keamanan penerbanangan. 



3. Adanya pertimbangan teliti mengenai tenggang waktu sejak penggunaan obat yang diperlukan hingga waktu menjalankan tugasnya, dalam hal ini perlu diperhatikan obat-obat dengan efek tertunda. 



4. Bagi obat-obat baru secara umum pertimbangan penggunaannya harus ditunggu minimal satu tahun untuk kejelasan pengaruhnya terhadap penerbanangan. 


5. Penggunaan obat bagi penerbang dikelompokkan dalam penggunaan sebelum bertugas dan penggunaan hanya selama tidak bertugas. 



Beberapa tujuan khusus penggunaan obat dalam penerbangan antara lain : 


1. Obat-obat yang meningkatkan toleransi terhadap hipoksia, obat ini bekerja dengan 

Cara meningkatkan PO2 alveoli paru, obat-obat yang menurunkan kebutuhan O2, 

Dan meningkatkan frekwensi pernapasan. Obat-obat kelompok ini contohnya : glukosa, obat ini paling aman dan murah, cara pemberiannya cukup dengan makan sebelum terbang. Obat lain adalah ammonium klorida yang pada dosis 10-20 g selama 3 hari akan meningkatkan kejenuhan O2 arteri 10 % pada ketinggian 18.000 kaki, tetapi obat ini mempunyai efek samping mengiritasi lambung. Obat-obat analeptika seperti amfetamin dan kofein meskipun akan meningkatkan ketrampilam psikomotor namun tidak dianjurkan karena akan menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan. 



2. Obat-obat yang menurunkan toleransi hipoksia misalnya sulfonamid yang dapat menimbulkan anemia atau methhaemoglobinemia atau reaksi sensitivitas sehingga akan menurunkan toleransi terhadap hipoksia. Sulfathiazol dan sulfadiazin akan mempengaruhi persepsi kedalaman. 



3. Obat mabuk perjalanan (khusus untuk penumpang) obat-obat ini misalnya obat yang bekerja sebagai perintang acetilkolin contohnya skopolamin. Bahkan saat ini tersedia sediaan skopolamin trasdermal yang mengandung 1,5 mg, yang digunakan dengan cara ditempelkan dibelakang telinga 6 jam sebelum terbang dan efektif bekeja selama 72 jam dan aman digunakan untuk penerbang. Obat yang lain dapat digunakan untuk penumpang bekerja dengan cara perintang dopamn misalnya metoklopramid, butirofenon, fenothiazin, donperidon, dimenhidrinat. Obat-obat ini karena efek sampingnya tidak dianjurkan untuk awak-awak pesawat yang akan menjalankan tugas. 



4. obat untuk mengatasi jet lag misalnya melatonin 1-3 mg sebelum tidur. 



5. Obat-obat untuk mengatasi kelelahan. Dektroamphetamin dapat menangguhkan tidur selama beberapa jam namun hal ini tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Kelelahan yang paling baik diatasi dengan cara meningkatkan kebugaran, atau apabila belum cukup perlu ditinjau jadwal penerbangan yang mungkin terlalu padat. 



6. Obat-obat untuk mengatasi kecemasan. Isu terorisme yang akhir-akhir ini menjadi isu global bukan hanya menimbulkan kecemasan dikalangan penumpang tetapi juga dikalangan awak pesawat. Gejala fear of flying juga lazim terjadi dikalangan para penerbang. Penggunaan obat-obat anti kecemasan hanya boleh untuk penumpang, seluruh awak pesawat tidak boleh menggunakan obat tersebut selama bertugas. 

Pengunaan Obat Dalam Penerbangan

PENDAHULUAN 


Manusia pada dasarnya adalah makhluk hidup yang diciptakan untuk hidup dipemukaan bumi. Sehingga secara anatomi dan fisiologi memang manusia diciptakan untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut, bukan untuk hidup di dalam lautan ataupun di angkasa. 


Namun manusia diciptakan oleh Tuhan dibekali kemampuan akal pikiran yang dengan itu lahirlah ilmu pengetahuan dan teknologi. Melaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat manusia dapat menciptakan alat untuk terbang di angkasa seperti burung, bahkan bisa terbang lebih tinggi dan lebih cepat dari burung yaitu dengan lahirnya alat-alat transportasi berupa : balon udara, pesawat terbang, roket dan sebagainya. 


Teknologi pesawat terbang mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai dari system pendorong, wing, kecepatan, akselerasi , jangkauan terbang, kemampuan manufer , persenjataan, system avionic dan sebagainya. Namun manusia yang mengawakinya dari dahulu sampai sekarang system anatomi dan fisiologinya tetap sama tidak mengalami perubahan. 



Kemajuan teknologi di bidang penerbangan perlu didukung oleh awak pesawat yang prima baik secara fisik maupun secara psikologis. Awak pesawat harus memiliki sense of safety atau yang lebih dikenal dengan istilah jiwa airmanship yang didukung oleh aspek pengetahuan (knowlage), ketrampilan (skill), pengalaman (experience), dan pertimbangan (judgment). 



Besarnya peranan awak pesawat didukung oleh data dari FAA tentang penyebab kecelakaan pesawat terbang : karena factor manusia mencapai 66.7%, factor media 13.2%, factor lainnya 20,1%. Di Indonesia factor manusia diperkirakan di atas 50%. Data lain mengungkapkan kecelakan yang disebabkan pengaruh alkohol sebanyak 4%. 



Ada beberapa alasan yang mengharuskan awak pesawat harus berada dalam kondisi prima baik secara jasmani maupun rohani antar lain : 



a. Awak pesawat bertanggung jawab terhadap keselamatan jiwa penumpang pesawat, apalagi saat ini ada pesawat-pesawat berukuran besar yang mampu membawa penumpang dalam jumlah besar. 



b. Awak pesawat bertanggung jawab terhadap asset yang mempunyai nilai ekonomi dan strategi yang tinggi. Semua pesawat terbang harganya tergolong mahal, barang-barang yang diangkut juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Apalagi pesawat militer yang membawa senjata atau amunisi mempunyai nilai startegi yang tinggi. 

c. Mengemban misi yang penting. Misalnya untuk pesawat sipil menjaga reputasi perusahaan, pesawat militer membawa misi penting misalnya dukungan logistik, persenjataan, evakuasi, bantuan kemanusiaan, SAR dan sebagainya. 



Arti pentingnya peranan manusia sebagai komponen liveware serta interaksinya dengan komponen komponen lainnya digambarkan oleh Prof. Edward tahun 1972 yang terkenal dengan teori SHELL, dimana S = software, H = Hardware, E = Enviroment, L = Live ware, dapat dilihat pada lampiran 1. 



Trevor Thom : Human factor not only play role in the safe operation of aircraft, they also play mayor role in unsafe operation leading to incident or accident. 



Karena awak pesawat harus mempunyai derajat kesehatan yang tinggi maka mereka tidak boleh melaksanakan tugas selagi berada dibawah pengaruh obat-obatan. Idealnya awak pesawat terutama penerbang tidak boleh mengkonsumsi obet-obatan karena akan mempengaruhi system syaraf mototrik, gerak reflek, konsentrasi, mental serta efek samping lainnya yang merugikan. Namunkarena kondisi tertentu pemakaian obat tidak dapat dihindarkan, sehingga perlu latar belakang pengetahuan yang cukup untuk menggunakannya. 



Apakah Obat itu 


Obat adalah semua zat yang dalam bentuk tunggal atau campuran baik yang berasal dari alam, sintetik, semi sintetik yang digunakan dengan tujuan untuk pencegahan, peredaan, menghilangkan penyakit atau gejala penyakit, meningkatkan derajat kesehatan, diagnostik, pengendali kesuburan. 



Dalam proses interaksi antara obat dengan sifat fisika dan kimianya terhadap tubuh dengan sifat biodinamiknya terdapat dua proses penting yaitu proses farmakokinetik yaitu pengaruh tubuh terhadap obat dan farmakodinamik yaitu pengaruh obat terhadap tubuh. 



Proses farmakokinetik obat terjadi dalam beberapa tahap : 



a. Penyerapan/absorpsi Proses dimana obat harus melintasi beberapa membran sel untuk masuk ke dalam system peredaran sistemik. Proses pelintasan obat ini dapat terjadi secara pasif tanpa menggunakan energi misalnya secara difusi, maupun secara aktif dengan menggunakan energi misalnyadengan suatu enzim khusus yang bertindak sebagai carrier. Besar kecilnya obat yang berhasil diserap dan kecepatan penyerapan akan sangat menentukan besar dan lamanya efek farmakologi yang dihasilkan, dan hal ini selain dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisika obat itu sendiri juga dipengaruhi oleh sifat fisika kimia bahan pembantu, bentuk sediaan dan teknologi yang digunakan dalam proses formulasi. Lambung dalam keadaan kosong umumnya mempunyai kemampuan penyerapan yang lebih cepat dibandingkan dalam keadaan penuh. Obat-obatan yang mempunyai daya adsorpsi dapat menurunkan penyerapan obat lain. 



b. Distribusi Setelah diserap obat harus mengalami proses distribusi dari tempat penyerapan menuju ke sel, jaringan atau organ tempat kerjanya melalui system peredaran darah sistemik. Di dalam plasma obat dapat berada dalam bentuk bebas atau terikat secara reversible dengan protein plasma misalnya albumin, globulin. Obat yang terikat protein plasma tidak mempunyai efek farmakologi dan tidak mengalami biotransformasi serta ekskresi. Ikatan reversible obat dengan jaringan tertentu juga dapat dimanfaatkan sebagai depot. 



c. Biotransformasi Adalah proses perombakan zat asing termasuk obat yang berlangsung secara biokimia menjadi metabolit-meabolit yang tidak aktif sehingga mudah diekskresikan. Sebagian obat yang telah diserap dari usus akan dibawa ke pembuluh portae ke dalam hati. Di sini sebagian atau seluruh obat akan mengalami perubahan-perubahan kimia dan hasilnya berupa metabolit yang umumnya tidak atau kurang aktif lagi dan proses ini disebut detoksifikasi atau bioinaktivasi. Ada kalanya metabolit yang dihasilkan akan mempunyai efek yang lebih kuatdisebut bioaktivasi. Selain didalam hati, organ biotransformasi lainnya adalah ginjal, paru, dinding usus, darah dan beberapa jaringan lainnya. 



d. Ekskresi Pengeluaran obat atau metabolitnya dari dalam tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni, selain itu sebagian proses ekskresi juga dilakukan melalui kulit, paru-paru, empedu, usus. Asi juga dapat menjadi organ ekresi beberapa obat, sehingga berpengaruh terhadap bayi yang menyusui. 



Proses farmakodinamik, adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh obat terhadap tubuh yang akan menghasilkan efek farmakologi obat. Efek yang dikehendaki disebut efek terapi, sedangkan efek yang tidak dikehendaki disebut efek samping atau efek toksik. Efek farmakologi ini dapat terjadi melalui mekanisme fisika misalnya anestetik, laksansia, diuretic. Terjadi melaui mekanisme kimia misalnya antasida, zat-zat khelat. Terjadi melalui mekanisme metabolisme sel (misalnya antibiotik golongan penisilin bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri. Terjadi melalui mekanisme kompetitif dalam menduduki reseptor spsifik atau enzim tertentu misalnya antihistamin. Secara umum efek terapi dipengaruhi oleh bentuk sediaan, rute pemberian, sifat fisika kimia zat itu sendiri dan bahan pembantunya, teknologi formulasi, biotransformasi, ekskresinya dan dikombinasikan dengan kondisi fisiologi si pemakai seperti umur, jenis kelamin, ras, ukuran tubuh dan sebagainya. 



Penggunaan obat harus rasional serta terjamin khasiat dan keamannya. Penggunaan obat harus tepat indikasi/manfaat, tepat pasien, tepat dosis, tepat cara penggunaan, waspada efek samping. 

PENGARUH BERPUASA DALAM PENERBANGAN

Dalam beberapa hari kedepan, umat Islam diseluruh dunia akan menjalani ibadah puasa. Ibadah puasa merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam. Tetapi, didalam dunia penerbangan, ibadah puasa merupakan suatu dilema. Pada satu sisi, puasa merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh umatnya. Tetapi, disisi lain, berpuasa dari segi medis dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi. Hal ini dapat berakibat fatal, karena apabila seorang penerbang kekurangan energi pada saat melaksanakan tugas, maka akan mengakibatkan sesuatu hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya incident atau bahkan accident. Accident / kecelakaan pesawat yang diakibatkan karena penerbang sedang berpuasa terjadi di Malaysia dan Kalimantan (Sari, 2010). Hal ini terungkap dari kotak hitam yang ditemukan dan dari hasil penyelidikan kecelakaan diketahui bahwa penerbang pesawat tersebut kurang berkonsentrasi dikarenakan penerbang tersebut sedang berpuasa. Artikel ini hanya membahas efek samping berpuasa dari segi medis yang dapat mempengaruhi crew atau awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya. 

Dalam dunia medis, berpuasa diartikan bahwa kita tidak memasukan makanan atau minuman ke dalam tubuh untuk jangka waktu delapan sampai dengan dua belas jam (Knight, 2010). Dengan berpuasa, maka tubuh akan kekurangan beberapa zat penting yang dapat mengganggu kerja tubuh. Salah satu zat itu adalah glucose / glukosa atau zat gula. Zat gula merupakan sumber energi yang diperlukan oleh tubuh. Zat gula ini diperoleh dari makanan yang mengandung gula atau karbohidrat. Dalam keadaan berpuasa, tubuh akan kekurangan glukosa dan tubuh melalui otak akan mencoba mencari glicogen didalam bagian tubuh lainnya. Glycogen adalah suatu molekul yang merupakan bentuk energi yang dibuat dan disimpan terutama di dalam liver / hati dan muscles / otot. Setelah makanan masuk kedalam tubuh, kadar / level glukosa akan meningkat. Selanjutnya, insulin akan merangsang enzimes dan glukosa ini kemudian ditambahkan ke glicogen. Pada proses ini liver / hati akan menyerap glukosa lebih banyak daripada yang harus dilepas. Setelah makanan dicerna, kadar gula dalam tubuh mulai turun dan insulin yang dihasilkan akan berkurang sehingga memaksa tubuh untuk menyerap cadangan glicogen. 

Dalam keadaan berpuasa, kadar / level glukosa tidak akan naik dikarenakan tidak ada asupan makanan kedalam tubuh. Oleh karena itu, ketika energi dibutuhkan, tubuh akan mencarinya melalui cadangan glicogen yang selanjutnya akan dirubah menjadi glukosa yang merupakan sumber energi bagi tubuh. Semakin lama berpuasa, maka kadar gula darah akan menurun dibawah normal dan ini akan memicu kerusakan glicogen. Kadar gula yang rendah ini akan mengakibatkan beberapa efek mulai dari perasaan yang tidak menentu, rasa lemah, lekas capai, pening, mengantuk, jantung berdebar, kejang, pingsan, sampai dengan kerusakan otak. Selain itu, kekurangan gula darah dalam tubuh juga akan memperlambat kerja otak atau daya pikir menurun (Grimes, 2010). Berpuasa dapat juga mengakibatkan penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat menimbulkan gejala – gejala: 

a. Menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai pengaruh gaya G. 

b. Mudah timbul “grey out”, ”black out”, dan pingsan (“G induced loss of consiousness”). (Diskes, 2010) 

Tetapi, tidak semua efek berpuasa adalah negatif karena ada beberapa manfaat dari berpuasa seperti: dapat menyembuhkan berbagai macam bentuk penyakit (kencing manis, kelebihan kolesterol darah, penyakit lever, sakit maag, menurunkan obesitas, dll), menempa ketahanan jiwa yang tinggi, memelihara solidaritas sosial, dan membentuk insan hamba Tuhan yang sederhana, jujur, dan bertanggungjawab. (Diskes, 2010). 

Seperti diungkapkan diatas, berpuasa mengakibatkan penurunan kadar gula darah dalam tubuh yang dapat memperlambat kerja otak atau daya pikir menurun. Lebih lanjut, dengan menurunnya daya pikir, seorang penerbang atau awak pesawat dapat kehilangan situational awareness (SA). Hal ini dapat berpengaruh buruk dikarenakan kehilangan SA merupakan salah satu faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya incident atau accident. Menurut Wiegmann dan Shappell (2001) dalam tulisannya yang berjudul A Human Error Analysis of Commercial Aviation Accidents Using the Human Factors Analysis and Classisfication System (HFACS), kehilangan SA merupakan salah satu pre-kondisi terjadinya unsafe acts. Kehilangan SA merupakan salah satu akibat dari adverse mental states yaitu kondisi mental yang dapat mempengaruhi performa dari awak pesawat (Wiegmann and Shappell, 2000). Kondisi ini disebabkan karena awak pesawat tidak dapat fokus atau kurang berkonsentrasi pada tugasnya karena fatigue atau kelelahan dan kurang tidur. Menurunnya daya pikir seorang penerbang juga dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah (decision errors). Pengambilan keputusan yang salah termasuk dalam kategori unsafe acts, meliputi: improper procedure, misdiagnosed emergency, wrong response to emergency, inappropriate manouver, dan poor decision (Wiegmann dan Shappell, 2000). Pengambilan keputusan yang benar harus dapat dilakukan oleh awak pesawat terutama dalam fase – fase kritis seperti pada saat take off, landing, dan terutama pada saat mengalami situasi darurat / emergency. Pada fase – fase inilah banyak terjadi incident dan accident sehingga awak pesawat benar – benar dituntut selalu dalam kondisi yang fit dalam melaksanakan tugasnya. 

Disamping menurunnya daya pikir, berpuasa juga dapat mempengaruhi tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat membahayakan awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya. Penurunan fisik awak pesawat ini dikategorikan sebagai adverse physiological states (Wiegmann dan Shappell, 2000). Adverse physiological states berarti bahwa awak pesawat mempunyai permasalahan kesehatan atau psikologi yang dapat mengarah kepada unsafe operations. Awak pesawat yang mengalami penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak akan kehilangan sebagian daya tahan tubuhnya terhadap berbagai tekanan gaya gravitasi (G). Dengan menurunnya daya tahan tubuh terhadap gaya “G”, maka awak pesawat akan dengan mudah mengalami ”grey out”, “black out”, dan pingsan. 

Dengan mempertimbangkan efek – efek tersebut diatas, maka perlu diambil suatu kebijakan yang dapat dijadikan suatu pedoman bagi awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga, tindakan yang diambil oleh awak pesawat tidak menyalahi aturan, baik itu aturan agama, organisasi, maupun aturan – aturan lainnya. Kebijakan yang diambil diharapkan dapat memenuhi tuntutan semua pihak dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan operator, penumpang, maupun material. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa penerbang tidak wajib untuk berpuasa (Syafirdi, 2010). Hal ini dkarenakan penerbang mempunyai tanggung jawab yang besar dan memerlukan konsentrasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Tetapi, tidak semua penerbang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa, hanya para penerbang yang sedang melaksanakan tugas terbang yang boleh meninggalkan ibadah puasa. Fatwa MUI juga menyebutkan bahwa para penerbang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan wajib menggantinya dengan Fidyah apabila penerbang tersebut harus menjalankan misinya setiap hari. Namun, apabila penerbang tidak melaksanakan misinya setiap hari, hanya sewaktu – waktu dalam bulan Ramadhan, maka penerbang tersebut wajib mengganti waktu puasanya di lain hari. Untuk awak pesawat TNI AU, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara nomor SKEP/18/II/1986, disebutkan bahwa “Semua penerbang yang mendapat tugas terbang dilarang puasa, kecuali bagi pesawat yang berpenerbang ganda, penerbang yang mendapat tugas terbang diperbolehkan berpuasa, apabila jadwal penerbangannya tidak melebihi pukul 10.00 waktu setempat.” 

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa berpuasa mempunyai beberapa manfaat tetapi juga mempunyai beberapa efek samping, dari segi keselamatan penerbangan, yang dapat membahayakan penerbangan. Beberapa efek samping dari berpuasa dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah dalam tubuh dan penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat menyebabkan awak pesawat mengalami grey out, black out dan bahkan pingsan. Dengan mempertimbangkan efek – efek samping tersebut, diharapkan awak pesawat dapat mengetahui kemampuannya dalam melaksanakan tugas penerbangan.

Thursday, September 26, 2013

Pengertian Hukum Perdata

Hukum perdata 

Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan . 

Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi: 
Hukum keluarga 
Hukum harta kekayaan 
Hukum benda 
Hukum Perikatan 
Hukum Waris 
Hukum acara 

Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum materiil perdata, maka ada hukum acara perdata. Sedangkan, untuk hukum materiil tata usaha negara, diperlukan hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana harus dikuasai terutama oleh para polisi, jaksa, advokat, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. 

Hukum acara pidana yang harus dikuasai oleh polisi terutama hukum acara pidana yang mengatur soal penyelidikan dan penyidikan, oleh karena tugas pokok polisi menrut hukum acara pidana (KUHAP) adalah terutama melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. Yang menjadi tugas jaksa adalah penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim pidana. Oleh karena itu, jaksa wajib menguasai terutama hukum acara yang terkait dengan tugasnya tersebut. Sedangkan yang harus menguasai hukum acara perdata. termasuk hukum acara tata usaha negara terutama adalah advokat dan hakim. Hal ini disebabkan di dalam hukum acara perdata dan juga hukum acara tata usaha negara, baik polisi maupun jaksa (penuntut umum) tidak diberi peran seperti halnya dalam hukum acara pidana. Advokatlah yang mewakili seseorang untuk memajukan gugatan, baik gugatan perdata maupun gugatan tata usaha negara, terhadap suatu pihak yang dipandang merugikan kliennya. Gugatan itu akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Pihak yang digugat dapat pula menunjuk seorang advokat mewakilinya untuk menangkis gugatan tersebut. 

Tegaknya supremasi hukum itu sangat tergantung pada kejujuran para penegak hukum itu sendiri yang dalam menegakkan hukum diharapkan benar-benar dapat menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Para penegak hukum itu adalah hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Jika kelima pilar penegak hukum ini benar-benar menegakkan hukum itu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disebutkan di atas, maka masyarakat akan menaruh respek yang tinggi terhadap para penegak hukum. Dengan semakin tingginya respek itu, maka masyarakat akan terpacu untuk menaati hukum. 
 Sistem hukum 

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem hukum di dunia

Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, common law system, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama. 

Sistem hukum Eropa Kontinental 

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini. 

Common law system adalah SUATU sistem hukum yang di gunakan di Inggris yang mana di dalamnya menganut aliran frele recht lehre yaitu dimana hukum tidak dibatasi oleh undang-undang tetapi hakim diberikan kebebasan untuk melaksanakan undang-undang atau mengabaikannya. 
Sistem hukum Anglo-Saxon 

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. 

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara. 

 Sistem hukum adat/kebiasaan 

Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah tertentu. 
Sistem hukum agama 

Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci. 

Hukum Indonesia 

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hukum Indonesia 

Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia. 

Wednesday, September 25, 2013

KONSEP DASAR HUKUM INTERNASIONAL


On the same day that we delifered our judgement (on Pinochet Case), NATO forces began to bomb the sovereign state of Serbia in an attempt to stop the attrocities its government was committing against its own citizens in Kosovo. Two events on the a single day showed how far we had come from the classical doctrines of international law as we had learned them fifty years ago. No longer is international law a matter which concerns sovereign states alone. It marches with human rights law to protect individuals from state action. 

Hukum internasional merupakan salah satu kajian dalam studi Hubungan Internasional. Hukum Internasional merupakan keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku dimana negara-negara terkait untuk mentaatinya,hubungan antar negara. 

Hukum internasional meliputi kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan negara, dan organisasi internasional dengan individu-individu. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. 

Lebih lanjut, dapat pula di pandang bahwa hukum internasional merupakan sebuah sistem persetujuan diantara aktor-aktor internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan internasional. 

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara. Namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. 

Hukum Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: 

◦ negara dengan negara; 

◦ negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. 

Pendefinisi Hukum Internasional 

Pandangan Austin terhadap hukum internasional diwarnai oleh teorinya mengenai hukum pada umumnya. Menurut teori Austin ini, hukum stricto sensu dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat. Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan pada analisis akhir bukan berasal dari suatu otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi, atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah-kaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata-mata. 

Penerapan teori umum ini terhadap hukum internasional, karena tidak ada yang dapat dinamakan otoritas yang memiliki kekuasaan legislatif atau otoritas yang secara tegas berkuasa atas masyarakat negara-negara, dan karena hingga saat ini kaidah-kaidah hukum internasional hampir secara eksklusif bersifat kebiasaan, maka Austin menyimpulkan bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya melainkan hanya "moralitas internasional positif' (positive international morality), yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau masyarakat. 

Lebih lanjut Austin menggambarkan hukum internasional sebagai terdiri dari "opini-opini atau sentimen-sentimen yang berlangsung di antara bangsa-bangsa pada umumnya" Pandangannya ini sesuai klasifikasinya mengenai tiga kategori hukum, yaitu hukum Tuhan (devine law), hukum positif (positive law) dan moralitas positif (positive morality). 

Jawaban terhadap pendapat Austin itu adalah sebagai berikut: 
Yurisprudensi jaman modern tidak memperhitungkan kekuatan teori umum tentang hukum dari Austin. Telah ditunjukkan bahkan pada beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai suatu ototitas legislatif formal, suatu sistem hukum telah berjalan dan ditaati, dan bahwa hukum tersebut tidak berbeda dalam hal kekuatan mengikatnya dari hukum suatu negara yang benar-benar mempunyai otoritas legislatif. 
Pandangan-pandangan Austin tersebut meskipun benar pada zamannya, namun tidak tepat bagi hukum internasional sekarang ini. Dalam abad sekarang banyak sekali "perundang-undangan internasional" terbentuk sebagai akibat dari traktat-traktat dan konvensi-konvensi yang membuat hukum, dan sejalan dengan perkembangan ini maka proporsi kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional makin berkurang. Bahkan andaikata benar bahwa tidak ada otoritas legislative yang secara tegas berdaulat di bidang internasional, prosedur untuk merumuskan kaidah-kaidah "perundang-undangan internasional" ini telah dipecahkan dengan cara penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional atau melarui organ-organ internasionar yang ada, meskipun tidak seefisien seperti prosedur legislatif pada suatu negara 
Persoalan-persoalan hukum internasional senantiasa diperlakukan sebagai persoalan-persoalan hukum oleh kalangan yang menangani urusan internasional dalam berbagai Kementerian Luar Negeri, atau melalui berbagai badan administrasi internasional. Dengan perkataan lain, badan-badan otoritatif yang bertanggung jawab untuk memelihara hubungan-hubungan internasional tidak mengganggap hukum internasional hanya sebagai suatu himpunan peraturan moral semata-mata. seperti yang dikatakan secara tepat, hampir se-abad yang lalu, oleh Sir Frederick Pollock: 

"apabila hukum internasional hanya semacam moralitas semata-mata, maka para perumus dokumen-dokumen tentang kebijaksanaan luar negeri akan menekankan semua kekuatan dokumen-dokumen itu pada argumentasi-argumentasi moral. Namun, dalam kenyataannya hal demikian tidak mereka lakukan. Pertimbangan para perumus tersebut bukan kepada perasaan umum atas kebenaran moral, akan tetapi kepada preseden-preseden, traktat-traktat dan pada opini-opini para ahli. Semua itu dianggap ada di antara para negarawan dan penulis-penulis hukum yang dapat dibedakan dari kewajiban-kewajiban moral dalam hubungan bangsa-bangsa”. 


Hukum Bangsa-Bangsa dan Hukum Antar Bangsa / Hukum Antar Negara 

Istilah hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara. 

— Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. 

— Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. 


Hukum Internasional dan Hukum Dunia 

— Hukum Internasional 

Didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. 

Tidak atla suatu badan yang berdiri di atas negara-negara baik dalam bentuk negara (world state) maupun baclan supranasional yang lain. 

Masyarakat intemasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan bersama. 

— Hukum Dunia 

Berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi. 



Kita memilikih konsep hukum internasional karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan dewasa ini' 



Hukum Internasional Regional dan Hukum Internasional Khusus 

Hukum Internasional Regional: 

Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. 
Hukum Internasional Khusus: 

Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. 



Perbedaan Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional. 

— Hukum Perdata Internasional 

Ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. 

— Hukum Internasional 

Adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).

Monday, September 23, 2013

Pembangunan Hukum Nasiona Ditinjau dari Pendekatan Sistem

Semua system selalu mempunyai misi untuk mencapai tujuan tertentu . Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan proses yang mengubah masukan (input)menjadi hasil (output). Untuk kelangsungan hidupnya dan menjaga mutu prestasinya , maka setiap sistem memerlukan terlaksananya fungsi kontrol, yang mencakup monitoring dan koreksi . Fungsi –fungsi monitoring tersebut dalam analisis sistem sering disebut umpan balik(feedback). Adanya umpan balik itu memungkinkan adanya perbaikan (koreksi) sistem instruksional selama pengembangannya (Sasbani 1987,h.19). Disamping itu, dalam proses perubahan dari input menjadi output dipengaruhi oleh perangkat lunak (software)dan perangkat keras (hardware) . Dengan demikian, pendekatan sistem (System Approach) berorientasi pada tujuan , sedangkan kegiatannya melibatkan unsur-unsur melalui proses tertentu untuk mencapai tujuan . 

Manusia hidup dalam lingkungan yang serba bersistem . Sistem itu dibentuk dan disusun dari komponen-komponen yang telah dibakukan dan mudah diganti –ganti , yang masing-masing saling berinteraksi secara timbale balik ,berulang-ulang,ajeg dan tunduk pada pola dasar yang tetap. 

Pada jaman modern seperti sekarang ini manusia dengan sengaja telah menciptakan dan menggerakkan sistem –sistem itu dengan tujuan yang sadar untuk membuat hidupnya kian efisien produltifitasnya kian meningkat dan komunikasinya kian efektif , lancar dan intensif(Soetandyo Wignjosoebroto, tanpa tahun,h. 12). 

Dengan demikian dalam proses pembentukan hukum nasional dengan contoh/missal Hukum Adat sebagai inputnya untuk tujuan menghasilakan output Hukum Nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, akan melibatkan berbagi subsistem-subsistem dalam masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena hukum merupakan alat control mekanisme dari sistem . Dalam pembentukan hukum nasional tersebut , perlu diperhatikan teori Talcott Parsons mengenai kerangka untuk memahami masyarakat yang digambarkan dalam bentuk bagan sibernetik sebagai berikut : (Satjipto Rahardjo ,1985,h. 21)

Saturday, September 21, 2013

Pokok-Pokok Kebijakan Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Rentan

Seperti diuraikan di atas, suatu upaya terpadu dan lintas sektor harus disiapkan, mulai dari perencanaan, penciptaan perangkat hukum, perencanaan strategis, koordinasi pelaksanaan, evaluasi dan pengembangan sistem perlindungan sosial yang kuat. Berikut ini disajikan pokok-pokok kebijakan yang harus dikoordinasikan dan dipadukan agar terbentuk sistem perlindungan sosial yang kuat. 


A. Kerangka Hukum: UU SJSN dan UU Kesejahteraan Sosial 

Kebijakan tentang pengembangan sistem perlindungan sosial harus didasari pada peraturan perundangan yang mendasari, yang jelas, yang memudahkan semua pihak memahami sistem tersebut. Sebuah undang-undang, UU No 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dihasilkan dan memuat skema sistem jaminan sosial formal terpadu dan terkoordinasi. Namun demikian, rincian lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (PerPres) masih harus dirumuskan. Dalam waktu beberapa tahun ke depan, upaya yang harus dilakukan adalah merumuskan implementasi dan menerbitkan beberapa PP dan PerPres yang sinkron dan terpadu, yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya, berdasarkan skema-skema yang telah dirumuskan secara garis besar dalam UU SJSN. 

Dalam bidang perlindungan sosial yang bukan permanen, berbentuk bantuan sosial, diatur dengan sangat sederhana dalam Undang-undang No.6 tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-undang ini sudah berusia 30 tahun dan masih sangat sederhana serta belum menunjukan skema terarah dan terpadu antara para pelaku perlindungan sosial. Oleh karenanya, dalam waktu dekat, UU ini harus diamendemen atau disusun UU baru yang mencakup bantuan sosial, di luar keadaan darurat bencana, yang kini naskah RUU nya telah siap dibahas oleh DPR RI. 

Yang harus diantisipasi oleh semua pihak adalah koordinasi dan sinkronisasi antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Naskah RUU Penanganan Bencana yang dibahas atas inisiatif DPR RI, setelah kejadian tsunami, harus sinkron dengan UU SJSN dan RUU pengganti UU Kesejahteraan Sosial. 

Untuk memudahkan perumusan, berikut ini disajikan pokok-pokok skema yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). 

1. Kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib bagi seluruh penduduk yang dilaksanakan secara bertahap (Pasal 4). Ketentuan penahapan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. 

2. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. (Pasal 17). 

3. Bagi fakir miskin dan orang tidak mampu, Pemerintah secara bertahap memberikan bantuan iuran (Pasal 14). Pada tahap pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh Pemerintah diberikan untuk program jaminan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17). 

4. Jenis program jaminan sosial meliputi (a) jaminan kesehatan; (b) jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pensiun; dan (e) jaminan kematian (Pasal 18). 

Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial. 

Salah satu ciri menonjol dari UU SJSN tersebut adalah kepesertaannya yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk dan adanya subsidi (bantuan) iuran bagi penduduk miskin dan kurang mampu (rentan). Dengan ketentuan itu maka penduduk miskin tetap memperoleh jaminan sosial meskipun mereka tidak mampu membayar iuran sebab iuran bagi penduduk miskin disubsidi oleh pemerintah. Pada tahap awal bantuan iuran yang diberikan pemerintah kepada penduduk miskin masih terbatas pada jaminan kesehatan. Oleh karena itu, sebuah perlindungan sosial lain yang memungkin penduduk rentan berproduksi dan tercegah dari kemiskinan, bantuan sosial atau pemberdayaan lain, baik oleh sektor lain dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, harus diupayakan. Yang penting adalah juga harus dicegah terjadinya duplikasi program perlindungan sosial kepada penduduk yang sama. 

Di akhir tahun 2005 dan akan diteruskan di tahun 2006 dan seterusnya, 60 juta penduduk miskin dan penduduk rentan sudah mendapat jaminan kesehatan yang disalurkan melalui PT Askes, sesuai dengan skema UU SJSN. Dengan penduduk miskin memperoleh jaminan pelayanan, maka subsidi bantuan sosial pemerintah kepada penduduk miskin harus diarahkan untuk program lain yang menjamin kecukupan kebutuhan gizi dan kemampuan bekerja produktif. 


B. Penentuan Sasaran 

Salah satu masalah kritis yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan sosial adalah berkaitan dengan penentuan sasaran. Masalah penentuan sasaran terjadi pertama-tama karena ada keterbatasan dana di satu sisi, sementara jumlah sasaran yang harus dilindungi demikian besar di sisi lain. Jika pemerintah memiliki dana cukup besar untuk memberikan bantuan sosial kepada seluruh penduduk miskin dan cakupan sistem jaminan sosial nasional sudah mencakup sebagian besar penduduk maka masalah penentuan sasaran barangkali tidak begitu menjadi masalah. Namun demikian, kondisi saat ini belum memungkinkan untuk itu sehingga masalah penentuan sasaran masih menjadi hal yang sangat kritis dalam pemberian bantuan sosial. Masalah lain dalam penentuan sasaran ini adalah terkait dengan kriteria dan mekanisme pendataan. 

Salah satu masalah kritis yang dihadapi selama ini, termasuk juga dalam menentukan penduduk miskin dan penduduk rentan, antara lain adalah berkaitan dengan penentuan batas (cut of point) penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penghitungan numerik tentang batas penduduk miskin dalam praktek di lapangan sangat sensitif. Oleh karena itu perlu dilakukan studi yang mendalam tentang bagaimana formula penentuan batas tersebut, agar tidak semata-mata numerik tetapi juga mempertimbangkan persepsi keadilan dan kewajaran yang berkembang di masyarakat. 

Berkaitan dengan penduduk rentan, masalah kriteria selama ini belum ada data yang secara tegas menyatakan berapa besar jumlah penduduk rentan dan dimana saja distribusinya. Ada beberapa kajian teoritik yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti berkaitan dengan penduduk rentan. Namun tentu saja hasil kajian tersebut tidak bisa serta merta dapat digunakan untuk dijadikan dasar dalam menentukan sasaran penduduk rentan di lapangan. 

Data yang paling besar yang dapat digunakan untuk menentukan penduduk rentan adalah data yang dikumpulkan oleh BPS melalui Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) atau yang dikenal dengan Sensus Kemiskinan. Namun simulasi lebih mendalam terhadap berapa besar penduduk rentan dengan menggunakan hasil sensus kemiskinan belum dapat dilakukan mengingat proses verifikasi terhadap data tersebut masih terus berlangsung. 

Sementara pengertian penduduk rentan dari perspektif legal daat ditemui setidaknya di dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembinaan Keluarga Sejahtera. 

Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dinyatakan, bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Di dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. 

Dalam UU No. 10 Tahun 1992 dinyatakan, bahwa masyarakat rentan adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fisiknya. Termasuk di dalamnya adalah komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar, dan remaja bermasalah. 

Sehubungan dengan penduduk rentan tersebut Direktorat Pendaftaran Penduduk, Ditjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Sistem Prosedur dan Standar Pelayanan Pendaftaran Penduduk Rentan. Dalam pedoman tersebut yang dimaksud dengan penduduk rentan adalah orang lanjut usia (lansia), anak balita, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat (UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) serta komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar dan remaja bermasalah (UU No. 10 Tahun 1992). 

Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud penduduk lanjut usia adalah penduduk berusia lebih dari 60 tahun dan termasuk kategori prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 (satu) karena alasan ekonomi. Wanita hamil adalah wanita yang termasuk penduduk rentan kesehatan. Anak balita adalah anak dengan usia di bawah 5 tahun yang rentan terhadap penyakit dan kemampuan potensi inteligensianya yang terkait pemenuhan gizi masih dapat dikembangkan. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan pekerjaan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik (tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, tuna daksa), dan penyandang cacat mental. Fakir miskin adalah keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera tahap 1 (KS 1). Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab, orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Remaja bermasalah adalah remaja yang terlibat narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan tindak kriminal. Komunitas adat terpencil adalah penduduk yang bertempat tinggal dan atau berkelana di tempat-tempat yang secara geografis terpencil, terisolir dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan penduduk pada umumnya. 

Jika pendaftaran penduduk rentan yang dilakukan oleh Ditjen Administrasi Kependudukan dapat berjalan dengan baik maka seharusnya jumlah penduduk rentan (sebagaimana digariskan pada dua undang-undang tersebut) dapat diketahui dengan baik. Namun karena pendaftaran penduduk yang ada selama ini masih belum efektif maka jumlah penduduk rentan sesuai pengertian kedua undang-undang tersebut belum dapat diketahui dengan baik. 


C. Kelembagaan 



Kelembagaan pengelola dan penyelenggara perlindungan sosial secara garis besar dipilah menjadi dua, yaitu kelembagaan yang menangani jaminan sosial dan kelembagaan yang menangani bantuan sosial lain. 

Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional lembaga yang menangani jaminan sosial disebut sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Selama ini sudah ada empat BPJS yang dikenali dan disebutkan dalam UU SJSN, yang penyelenggaraannya harus menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Selain empat BPJS tersebut, dapat dibentuk BPJS baru dengan UU. Pasal 5 ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (baru) harus dibentuk dengan Undang-Undang. Semula Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa yang dimaksud BPJS dalam Undang-Undang ini adalah PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT ASABRI (Persero) dan PT Askes (Persero). Namun dalam judicial review, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak mengikat dan penetapan empat badan penyelenggara untuk program jaminan sosial nasional sudah cukup diatur oleh Pasal 52 UU SJSN. Jadi, esensinya keempat BPJS yang telah ada sah dan sesuai dengan amanat konstitusi. 

Dalam pengaturan lebih lanjut, sebaiknya diatur agar satu BPJS menyelenggarakan satu program secara nasional agar tidak terjadi tumpang tindih, baik programnya maupun penduduk yang dilayaninya. Sementara itu, pemerintah daerah dapat mengembangkan program jaminan sosial bagi penduduk atau program yang belum atau tidak dilayani oleh BPJS nasional. Dengan demikian, akan terjadi harmoni dan keterpaduan perlindungan sosial bagi seluruh penduduk dan untuk berbagai kebutuhan dasar yang layak, dalam rangka mencegah bertambahnya penduduk miskin dan atau rentan. 

Kalau menilik kelembagaan jaminan sosial di berbagai negara memang tampak bervariasi dari banyak lembaga/badan penyelenggara sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional yang mengelola berbagai program jaminan sosial. Banyaknya badan penyelenggara tersebut mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program jaminan sosial. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan adanya kecenderungan mengarah kepada kelembagaan yang semakin kecil jumlahnya, bahkan ada negara yang jaminan sosialnya hanya dikelola oleh satu badan untuk seluruh program. 

Di samping itu, tampak adanya suatu pola yang sama yaitu penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik yang dikelola langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi) pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam pengambilan keputusan penting dan di dalam pengelolaan dana. Pengelolaan bersifat nirlaba, artinya setiap sisa hasil usaha akan dikembalikan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta dan bukan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham atau pemerintah, memang sejalan dengan falsafah, visi-misi, dan tujuan jaminan sosial sebagai upaya perlindungan dan bukan upaya mencari dana. 

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kebijakan ke depan tampaknya perlu mengarah kepada kelembagaan jaminan sosial yang mampu memberikan kepastian jaminan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan hidup layak bagi setiap penduduk, secara berkelanjutan sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara berkeadilan. Penyelenggaraan program perlindungan sosial harus bertumpu kepada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi seluruh rakyat, kegotong royongan, memberikan perlindungan yang adil dan merata pada setiap peserta, peserta membayar iuran, dikelola secara nasional agar terpenuhi hukum angka besar (law of the large numbers) yang efisien dan efektif, transparan dan dapat dipercaya. 

Kelembagaan jaminan sosial haruslah dibentuk sebagai suatu sistem yang integral, terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya tumpang tindih sebagaimana yang terjadi pada program jaminan sosial yang ada saat ini. Kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial haruslah kelembagaan yang independen, menerapkan good governance dan dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para stakeholders yaitu peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Lembaga tersebut merupakan lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian amanah dari dana yang terkumpul. 

Penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad hoc oleh banyak instansi, sementara Departemen Sosial yang sesuai tugas dan fungsinya mengelola bantuan sosial dari pemerintah memiliki cakupan yang amat terbatas. Departemen Sosial hanya memberikan bantuan sosial kepada mereka yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang daya cakupnya juga terbatas. Padahal yang memerlukan bantuan sosial sesuai dengan pengertian di atas tidak hanya yang tergolong PMKS tetapi penduduk lain yang juga rentan terhadap berbagai risiko sosial. Kedua, perubahan tata pemerintahan sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah telah merubah secara signifikan bentuk, fungsi, dan kewenangan kelembagaan yang menangani bantuan sosial. Peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dalam mengelola berbagai program pembangunan jauh lebih besar dari sebelumnya, sementara di sisi lain kemampuan antar daerah juga sangat bervariasi. Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu, maka pengelolaan bantuan sosial utamanya bagi penduduk miskin dan penduduk rentan harus dijabarkan secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan daerah. 

Studi ini belum menganalisis secara lengkap dan rinci tentang bagaimana bentuk kelembagaan yang ideal untuk mengelola bantuan sosial. Namun studi ini merekomendasikan bahwa kelembagaan pengelolaan bantuan sosial, yang sifatnya sementara di luar program jaminan sosial yang diatur UU SJSN, sebaiknya dikoordinasikan oleh satu instansi yang memang memiliki tugas dan kewenangan mengelola bantuan sosial, yang dalam hal ini, misalnya, adalah Departemen Sosial. Sementara itu, pengelola di lapangan dapat diserahkan kepada masing-masing daerah yang didanai bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan bantuan masyakarat. Dalam hal penentuan sasaran (siapa penduduk miskin dan rentan yang memang berhak dan pantas memperoleh bantuan sosial) diatur standar nasional yang ditetapkan, misalnya, oleh Departemen Sosial sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sementara daerah yang mampu dapat meningkatkan standar tersebut, dengan konsekuensi penambahan dana oleh pemda terkait. Mengingat masalah penentuan penduduk miskin dan rentan sebagai sasaran bantuan seringkali mengalami banyak kendala di tingkat pelaksanaan di lapangan maka Departemen Sosial berangkat dari data penduduk miskin dan rentan yang ada perlu mengembangkan instrumen yang tepat dan mudah diterapkan dalam melakukan seleksi siapa sebenarnya penduduk miskin dan rentan yang benar-benar layak untuk diberikan bantuan sosial. Selanjutnya instrumen tersebut disosialisikan ke setiap daerah untuk melaksanakannya. Sedangkan database-nya dibangun secara terpusat secara nasional. Pengembangan database penduduk miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial hendaknya mengacu pada Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang saat ini sedang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri. Siapa yang perlu mendapat bantuan sosial secara permanen dan siapa yang cukup diberikan secara insidental juga perlu dicakup dalam pendataan ini, termasuk pula jenis atau bentuk bantuan apa yang perlu diberikan (uang tunai, barang atau pelayanan, pangan, papan dan sebagainya). 

Dengan kelembagaan yang kuat dan terkoordinir di satu pintu maka diharapkan pelaksanaan bantuan sosial ke depan dapat dilakukan secara lebih baik. 


D. Skema Pendanaan 

Pendanaan program sistem perlindungan sosial yang bersumber dari bantuan sosial masih bertumpu pada sumber utama APBN-APBD, paling tidak untuk 10 tahun ke depan. Kontribusi pemerintah daerah yang secara umum selama ini masih rendah harus ditingkatkan secara bertahap. Namun demikian, perlu dihargai upaya beberapa pemda seperti di Tabanan, Jimbaran, Lebak, Musi Banyuasin, Kutai Kertanegara, dll, yang dari segi alokasi APBD telah mengalokasikan dana cukup signifikan untuk program-program perlindungan sosial, baik yang disalurkan kepada fasilitas pelayanan pemerintah maupun yang disalurkan melalui bantuan iuran program jaminan kesehatan. 

Sumber dana kedua harus berasal dari iuran atau kontribusi setiap penduduk, baik yang dipotong langsung dari gaji/upah, yang dibayarkan oleh majikan sebagai tanggungjawab majikan dan investasi majikan terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Yang menjadi tantangan terbesar dan memerlukan studi serta eksperimen yang seksama adalah pengumpulan dana dari tenaga kerja di sektor informal, seperti pedagang eceran, warung-rumah, usaha rumah tangga, petani mandiri dan nelayan mandiri. Kelompok sektor informal tidak memiliki penghasilan tetap sebagaimana gaji atau upah yang diterima karyawan setiap bulan. Kesadaran kelompok ini untuk menabung atau membayar iuran juga umumnya rendah, sehingga kesadaran sendiri akan sulit diharapkan. Pemaksaan atau penegakan hukum kepada kelompok ini sangat sulit dan sangat berbeda bila dibandingkan dengan pemaksaan majikan untuk memotong gaji dan menambahkan kewajibannya dalam membayar iuran. Uji coba dan penelitian seksama di berbagai daerah, dengan memberdayakan kearifan lokal, namun tetap pada koridor sistem nasional untuk perlindungan dasar, harus terus dilakukan dalam waktu sepuluh tahun ke depan. 

Selain kedua sumber yang dapat dijamin keberlanjutannya di atas, bantuan solidaritas sosial dari masyarakat, baik berupa zakat, infak, sedekah, karitas, ataupun sumbangan yang dapat mengurangi pajak yang diberi insentif sistem perpajakan, harus terus dikembangkan. Meskipun pada umumnya pendanaan bersumber eksternal seperti ini tidak menjamin kecukupan dan ketepatan sasaran, peran sumber dana ini cukup besar di kemudian hari. 

Bantuan dana berupa pinjaman luar negeri untuk program yang bersifat konsumtif, pemberian bantuan langsung, harus dikurangi sehingga menjadi tidak ada sama sekali. Sesungguhnya, potensi di dalam negeri dari mereka yang mampu juga cukup besar. Selain itu, dana yang terkumpul dari program jaminan sosial jangka panjang, seperti jaminan hari tua dan jaminan pensiun, yang terkumpul dan terakumulasi untuk jangka panjang, juga dapat digunakan untuk menutupi kekurangan pendanaan lokal.