Compare hotel prices and find the best deal - HotelsCombined.com

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Welcome To Kualanamu Internasional Airport

Jika berkunjung ke kota medan jangan lupa singgah ke Berastagi, Prapat, Istana Maimun, Mesjid Raya.

Friday, November 29, 2013

Sekilas Metabolisme Karbohidrat

Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh adalah menyediakan glukosa bagi sel-sel tubuh, yangkemudian diubah menjadi energi. Glukosa memegang peranan sentral dalam metabolisme karbohidrat. Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan sistem saraf.

Glukosa yang diserap dari pencernaan makanan di usus dibawa darah menuju ke seluruh sel tubuh. Dalam sitoplasma glukosa akan mengalami GLIKOLISIS yaitu peristiwa pemecahan gula hingga menjadi energi (ATP). Ada dua jalur glikolisis yaitu jalur biasa untuk aktivitas/kegiatan hidup yang biasa (normal) dengan hasil ATP terbatas, dan glikolisis jalur cepat yang dikenal dengan jalur EMBDEN MEYER-HOFF untuk menyediakan ATP cepat pada aktivitas/kegiatan kerja keras, misalnya lari cepat. Jalur cepat ini memberi hasil asam laktat yang bila terus bertambah dapat menyebabkan terjadinya ASIDOSIS LAKTAT . Asidosis ini dapat berakibat fatal terutama bagi orang yang tidak terbiasa (terlatih) beraktivitas keras. 
 
Hasil oksidasi glukosa melalui glikolisis akan dilanjutkan dalam SIKLUS KREB yang terjadi di bagian matriks mitokondria. Selanjutnya hasil siklus Kreb akan digunakan dalam SYSTEM COUPLE (FOSFORILASI OKSIDATIF) dengan menggunakan sitokrom dan berakhir dengan pemanfaatan Oksigen sebagai penangkap ion H. Kejadian tubuh kemasukan racun menyebabkan system sitokrom di-blokir oleh senyawa racun sehingga reaksi REDUKSI-OKSIDASI dalam system couple, terutama oleh Oksigen, tidak dapat berjalan. Selanjutnya disarankan membaca materi biokimia enzim, oksidasi biologi, dan glukoneogenesis pada situs ini juga.

Tuesday, November 26, 2013

Pengertian Hukum Tindak Pidana Khusus

A. Pengertian
Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.

Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.

Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan :

“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”

UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.


B. Dasar hukum dan kekhususan.

UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002.

Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu

Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.

Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

Perundang-undangan Pidana :


UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum


Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi.
UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)

Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi

( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan).

Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

 Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana materil dan juga formal.

Saturday, November 23, 2013

CONTOH KATA PENUTUP LEMBAGA KEHAKIMAN

A. Kesimpulan

1. Kekuasaan Kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan curta-cita kemerdekaan Republik Indonesia yaitu : Terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman ditujuhkan untuk pertama ; menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independen, kedua; mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman,untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, ketiga; menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya, keempat; mendoromg dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima ; melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit.



2. Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menekkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggarannya negara repubik Indonesia. Salah satu agenda penting yang perlu di hadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia, dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.


3. Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mengemban tugas pokok, yakni melaksanakan public service di bidang pemberian keadilan.

Thursday, November 21, 2013

Media dan Ketergantungan Manusia Modern

Mengapa kepolisian harus concern dengan media massa untuk melaksanakan tugas dan fungsinya? Sebagai lembaga negara yang bertugas tidak hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya kepolisian RI bisa menampilkan diri lebih utuh dalam semua pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut. Kebutuhan komunikasi melalui media massa merupakan keharusan mutlak mengingat jangkauan sasaran kegiatan yang meluas di seluruh Indonesia. Hal itu disebabkan khalayak jaman kontemporer seperti sekarang ini lebih banyak mengandalkan pengalaman bermedia sebagai pendefinisi realita yang utama dibanding pengalaman personal mereka. 

Situasi semacam itu dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (McQuail dan Windahl, 1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini, anggota khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka.

Para petani yang ditembak dengan peluru karet di Sumatra Selatan mulai menggugat perlakuan polisi yang mereka rasakan tidak sesuai dengan hak asasi mereka sebagai manusia dengan melaporkannya ke Komnas HAM di Jakarta. Demikian halnya dengan Rizal, dosen sejarah UI, melaporkan secara resmi ke divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri dan Kontras serta melakukan jumpa pers dengan niatan untuk menyadarkan para korban penganiayaan akibat salah prosedur yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Sekaligus juga membantu lancarnya jalannya reformasi di tubuh kepolisian RI. Apa yang dilakukan petani Sumsel dan Rizal tersebut tidak lepas dari eksposure media massa yang telah mereka terima selama ini. Perjuangan sekecil apapun apabila didukung opini publik melalui media massa akan hebat hasilnya. Dukungan koin untuk Prita adalah contoh lain bagaimana media massa menunjukkan kekuatannya.



Epilog

Penetrasi media massa sekarang ini sungguh luar biasa. Belum lagi informasi yang mengalir dengan cepat melalui media modern semacam internet dan hand phone. Dalam situasi sekarang, apabila kepolisian tidak bijak memperlakukan media, dikhawatirkan kasus “Cicak vs Buaya” atau “Kadal vs Komodo” akan berulang di kemudian hari. Sebuah pelajaran penting bagi segenap anggota kepolisian RI untuk lebih mengedepankan praktek kepolisian yang profesional apabila menghendaki citra institusi kepolisian kembali menjulang.

Pada akhirnya, reformasi kultural di tubuh Polri tidak akan bisa berjalan dengan maksimal apabila tidak ada perubahan dalam praktek kepolisian yang ada. Segenap polisi yang ada hendaknya mampu bertindak sebagai agen sosial yang mampu memproduksi nilai-nilai baru dalam semua praktek kepolisian dengan lebih mengedepankan nilai-nilai sipilistik yang menekankan demokrasi dan partisipasi dibandingkan nilai-nilai militeristik yang menekankan otorikrasi dan mobilisasi. Dalam proses transformasi tersebut media bisa menjadi mitra strategis. 

Wednesday, November 20, 2013

Contoh Latar belakang tentang ideologi

A. Latar Belakang

Setiap bangsa mempunyai cita-cita karena berfungsi sebagai penentu mencapai tujuan. Tujuan bangsa Indonesia telah dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam usaha mencapainya banyak mengalami hambatan, tantangan, dan ancaman. Oleh karena itu, perlu kekuatan untuk mewujudkan. Kekuatan untuk menghadapi masalah tersebut dikenal dengan istilah ketahanan nasional. Ketahanan nasional perlu dibina terus menerus dan dikembangkan agar kelangsungan hidup bangsa dapat dijamin.

Dalam sejarah perjuangan bangsa, ketahanan bangsa Indonesia telah teruji. Kita mampu mengusir penjajahan Jepang, Belanda, menghadapi separatis RMS, PRRI, Permesta, DI TII, PKI, GAM, dan Papua Merdeka. NKRI tetap tegak berdiri karena memiliki daya tahan dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG). Bangsa Indonesia menghadapi permasalahan KKN, Krisis Moneter, kemiskinan, pengangguran, konflik SARA, pelanggaran HAM, SDM yang rendah, globalisasi. Hanya dengan ketahanan bangsa saja kelangsungan hidup dapat terjamin. (Sunarso, dkk, 2006 :188).

Indonesia merupakan suatu bangsa yang mempunyai banyak pulau di dunia, dimana banyak terdapat perbatasan negara di berbagai pulau tersebut sehingga Indonesia sangat memerlukan ketahan nasional didalamnya. Seperti kita ketahui banyak pulau indonesia yang belum bisa terjaga dengan ketat oleh aparat keamanan kita. Hal ini sangat di perlukan oleh negara kita, negara kita adalah negara yang sangat banyak sumber daya alamnya, dimana seharusnya kita menjaga dengan sangat hati-hati. Seperti yang kita ketahui banyak wilayah Indonesia yang dicuri atau diambil dengan negara lain. Sehingga kita sangat memerlukan ketahanan nasional yang kuat dalam bangsa kita.

Ketahanan nasioanl dapat dilakukan dengan banyak cara seperti : kekuatan masyarakat dalam menjaga kelestarian dan daerah yang mereka tempati dimana apabila ada orang masuk kita wajib melaporkannya kepemerintahan dan kepada daerah atau adat setempat serta yang tak kalah penting adalah dukungan pemerintahan dan kecintaan pemerintahan pada daerah tersebut untuk menjaga dan mengamankan daerah tersebut. Kita mempunyai sangat banyak tentara untuk menjaga perbatasan tersebut dan seharusnya pemerintah tidak mempunyai alasa untuk tidak menjaga ketahan nasional tersebut. Ketahanan nasional sendiri mempunyai banyak aspek, diantaranya : aspek ekonomi, sosial budaya, politik, ideologi dan lain-lain. Dimana semuanya sangat berarti bagi generasi bangsa apabila dari sekarang sudah dijaga dan dirawat serta dipedulikan oleh kita semua.

Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau
cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk
seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan
bernegara Indonesia. Dengan ideologi yang kuat, diharapkan ketahanan nasional dapat selalu dijaga dan diperkuat.



B. Rumusan Masalah

1. Apakah ketahanan nasional itu?

2. Bagaimana cara menjaga ketahanan nasional?

3. Apakah pengertian ideologi itu?

4. Apakah ideologi Pancasila dan bagaimana kedudukannya dalam kehidupan masyarakat?

5. Bagaimana cara menanamkan ideologi Pancasila?

6. Bagaimana peran dan pengaruh ideologi Pancasila terhadap ketahanan nasional?















Monday, November 18, 2013

PESAN-PESAN GOOD NEWS DAN GOODWILL

Para pelaku bisnis telah banyak melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menjaga hubungan yang baik dengan para pelanggan, klien, karyawan/ pegawai dan masyarakat pada umumnya. Disamping itu, mereka juga mengirimkan pesan-pesan good will kepada karyawan, klien dan masyarakat pada umumnya. 

Kualifiksi bentuk goodnews dalam komunikasi bisnis :

1. Good News tentang pekerjaan

Umumnya surat yang menginformasikan kabar baik atau berita yang menyenangkan (good news) menggunakan pendekatan langsung. Contoh good news berkaitan dengan masalah pekerjaan, antara lain penerimaan kerja, kenaikan pangkat/ jabatan/ posisi, memperoleh bonus kerja, tunjangan hari raya, kenaikan gaji dan pengakuan/ penghargaan prestasi kerja.

2. Good News Tentang Produk

Good News yang berkaitan dengan produk antara lain, pembicaraan diskon harga produk, sistem beli 3 produk dapat tambahan 1 produk gratis (buy 3 get 1 free), pemberian kupon diskon harga produk, membeli produk dalam jumlah tertentu akan memperoleh hadiah tertentu (seperti kalender tahun baru, produk aksesoris atau produk pelengkap).

3. Pesan-Pesan Goodwill

Goodwill adalah suatu perasaan positif yang dapat mendorong orang untuk menjaga hubungan bisnis. Sebagai pelaku bisnis, seseorang dapat juga mendorong hubungan baik dengan berbagai pihak, seperti pelanggan, pemasok atau pelaku bisnis lainnya dengan penyampaian pesan-pesan secara bersahabat atau catatan-catatan singkat yang tak diharapkan, yang secara tidak langsung berkaitan dengan tujuan bisnis tertentu. 

Pesan-pesan goodwill dapat disampaikan melalui pemberian selamat kepada orang lain, seperti kenaikan pangkat atau jabatan, diangkat sebagai pimpinan suatu asosiasi organisasi bisnis dan sejenisnya. Penyampaian ucapan selamat oleh pimpinan perusahaan kepada para pelanggan maupun pemasok, seperti ucapan selamat ulang tahun, ucapan selamat atas penyelesaian studi, ucapan selamat atas kesuksesan non bisnis, merupakan hal yang baik untuk menjaga hubungan baik diantara mereka.



G. PENULISAN BAD NEWS



Apabila perusahaan ingin memberikan tanggapan atas keluhan pelanggan, mengkomunikasikan permasalahan tentang pesanan atau memberitahukan perubahan kebijakan perusahaan yang dapat mempengaruhi citra perusahaan secara negatif, maka perlu memperhatikan tiga hal, yaitu penyampaian bad news, penerimaan pesan tersebut dan menjaga goodwill sebaik mungkin dengan audiens. 

Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan, berkaitan dengan pesan yang tak menyenangkan ini :

1. Menciptakan Audience – Centerred Tone

Menyangkut nada atau intinasi dalam penyampaian bad news mampu memberikan kontribusi yang cukup penting bagi efektivitas penyampaian pesan-pesan bisnis yang didukung dengan tiga tujuan yang khusus, yaitu :

a. Membantu audiens mengerti akan bad news yang merupakan suatu keputusan yang tegas

b. Membantu audiens mengerti keputusan yang diambil adalah adil.

c. Membantu audiens agar tetap memberikan goodwill bagi perusahaan. 

2. Memilih Pendekatan Organisasional

Dalam menyampaikan suatu pesan yang sifatnya bad news, dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu perencanaan tak langsung (indirect plan) dan perencanaan langsung (direct plan).

a. Pendekatan tidak langsung (indirect plan), merupakan pendekatan yang digunakan untuk penulisan pesan-pesan yang mempunyai dampak kurang menyenangkan kepada audiens. Dalam pendekatan ini terdapat empat bagian penting yaitu 

· Pembuka, yang menempatkan audiens pada situasi yang netral serta penyataan yang tanpa beban bagi audiens.

· Alasan, dengan mengemukakan alasan mengapa suatu keputusan harus diambil, sebelum menyampaikan yang sebenarnya, penyampaian alasan yang efektif akan sangat membantu audiens menyadari bahwa keputusan yang diambil adalah fair atau logis.

· Bad news, merupakan hal yang mungkin “menyakitkan” bagi audiens yang mendengarnya, namun demikian bagian ini merupakan bagian utama yang merupakan keputusan yang diambil dari suatu kondisi.

· Penutup, setelah pesan yang kurang menyenangkan disampaikan, maka tahap selanjutnya adalah memberikan kata-kata penutup yang bersifat positif, hangat, bersahabat, dan lebih menyenangkan. Dapat juga diusulkan suatu cara pemecahan dari masalah yang dihadapi oleh audiens.

Tidak Langsung b. Perencanaan Langsung

Suatu pesan yang kurang menyenangkan yang diorganisir melalui perencanaan langsung akan diawali dengan suatu pernyataan bad news, selanjutnya diikuti dengan berbagai alasan yang mendukungnya, dan diakhiri dengan penutup yang bersahabat. Pendekatan ini memiliki kelebihan bahwa audiens hanya memerlukan waktu yang relatif singkat untuk sampai pada ide pokok yaitu bad news.Pendekatan ini dapat diterapakan apabila :

· Penerima pesan lebih menyukai pesan langsung ke inti yang dituju.

· Pesan tersebut mempunyai pengaruh yang kecil terhadap si penerima pesan

· Pesan disampaikan secara empati.

Sunday, November 17, 2013

Cara Melakukan Analisis Semantik

Analisis Semantik 

Disini dilakukan pengecekan pada struktur akhir yang telah diperoleh dan diperiksa kesesuainnya dengan komponen program yang ada. Merupakan pusat dari tahapan translasi, struktur sintaktik yang dikenali oleh Analisis Sintaktik diproses, dan struktur objek eksekusi sudah mulai dibentuk. Analisis Semantik kemudian menjadi jembatan antara analisis dan sintesis dari translasi. 

Analisis Semantik menghasilkan suatu kode objek yang dapat dieksekusi dalam translasi sederhana, tetapi biasanya bentuk dari kode objek yang dapat dieksekusi ini merupakan bentuk internal dari final program eksekusi, yang kemudian dimanipulasi oleh tahap optimisasi dari translator sebelum akhirnya kode eksekusi benar-benar dihasilkan. 



IV. Analisis Sintaktik 

Analisis Sintaktik/Analisis Hirarki/Parsing. Dalam tahap ini karakter atau token yang diperoleh pada analisis leksikal disusun dan dikelompokkan dalam suatu hirarki tertentu yang secara keseluruhan mempunyai arti tertentu.. 

Disinilah struktur program yang lebih besar diidentifikasi (statement, deklarasi, ekspresi, dan lainnya) menggunakan token leksikal yang dihasilkan Analisis Leksikal.
Analisis Sintaktik selalu bekerja bergantian dengan Analisis Semantik. 

ü Pertama, Analisis Sintaktik mengidentifikasikan urutan Token Leksikal seperti ekspresi, statement, subprogram, dan lainnya. 

ü Analisis Semantik kemudian dipanggil untuk proses unit ini. 



Analisis Sintaktik berfungsi menghasilkan pohon sintaks program sumber yang didefinisi grammar. Simbol terminal pohon sintaks adalah token-token yang dihasilkan scanner. Sebelum akhirnya kode eksekusi benar-benar dihasilkan. 


V. Code Generation 

Code Generator/Pembentukan Kode. Dimana dalam tahap ini dibentuk antara dari bahasa sumber yang berupa suatu pohon sintaks diterjemahkan ke dalam suatu bahasa assembler atau bahasa mesin. 

Bentuk antara yang diperoleh biasanya merupakan suatu perintah 3 alamat atau suatu kuadrupel (3-address code atau quadruples), sedangkan bahasa mesin yang dihasilkan adalah suatu bahasa assembler yang merupakan suatu perintah 1 alamat, 1 akumulator. 



VI Code Optimizer 

Code Optimizer/Optimasi Kode. Hasil pembentukan kode yang diperoleh kemudian dibuat kompak lagi dengan melakukan beberapa teknik optimasi supaya dapat diperoleh program yang lebih efesien. 

Dalam hal ini dilakukan beberapa hal seperti pendeteksian suatu ekspresi yang sering terjadi, sehingga pengulangan tidak perlu terjadi dan lain sebagainya. 


VII. Lexeme 

Lexeme adalah string yang merupakan masukan dari analisis Leksikal. 

Saturday, November 16, 2013

INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI

a. Interpretive

Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).

Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham interpretive dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered with ideas stemming from the German intellectual tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of ordinary language philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”

Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften) berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims and methods of the social sciences are identical to those of the natural sciences). They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences (Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation (Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”

Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan penjelasan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:

“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are terms that routenely appear in the lexicon of social science methodologists and philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of their user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological and philosophical persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general direction of where instances of particular kind of inquiry can be found. However they “merely suggest directions along which to look” rather than provide descriptions of what to see.”

Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).

Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).

Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena (noumenon), penulis akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Metode Etnografi” sebagai berikut:

“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.”

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan jahat.

Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1) Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan gerombolan sangat berbeda.

2) Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.

Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8) “The Interpretation of Cultures, Selected Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.

Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang harus melakukan “thick description” (“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”

b. Hermeneutik

Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).

Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).









Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam Sumaryono, 1993: 24).

Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).

Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan banyak persoalan.

Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono, 1993: 28).

c. Fenomenologi

1) Pengertian Fenomenologi

Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.

Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan dengan pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui sebagaiman adanya.

Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu mana pun.

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.

Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat “menempatkan diantara tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.

Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita (“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is experienced by human beings within particular contexts and at particular times, rather than in abstract statements about the nature of the world in general. Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness as we engage with the world around us”).

Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk realitasnya pada suatu saat manapun. Penampilan suatu objek sebagai fenomena perseptual bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting, orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri dan dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena itu merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan memokuskan diri “di mana letak kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931: 262), dan memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi dengan merasa, berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi (Willig, 1999: 51) (“According to a phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all objects and subjects must present themselves to us as something, and their manifestation as this or that something constitutes their reality at any one time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s location and context, angle of perception and importanly, the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and purposes). This is referred to as intentionality. Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that “self and world are inseparable components of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added on to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional and therefore constitutive of experience itself. However, at the same time, transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl, 1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51). 


2) Metode Fenomenologi

Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi, membentuk bagian sentral yang disebut fenomenologi transendental. Husserl menyatakan adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu keadaan kesadaran yang belum direfleksikan, yang memungkinkan kita menggambarkan fenomena sebagai mana mereka yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan serangkaian tahap akan membantu filsof dari persepsi segar tentang fenomena yang dikenal ke upaya menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang berasal dari cara ini akan bebas dari penjelasan akal sehat dan ilmiah dan interpretasi-interpretasi atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya. (“The phenomenological method of deriving forms a central part of transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to transcend presuppositions and biases and to experience a state of pre-reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction of the essences that give the phenomena their unique character. Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notions, scientific explanations and other interpretations or abstractions that characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of the world as it appears to us in our engagement with it” (Willig, 1999: 52). 



Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda fenomenologi dalam memperoleh pengertian meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang membedakan yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara penuh keberadaan apa yang nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh. Penggambaran itu juga meliputi ciri-ciri fisik seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam kesadaran kita ketika kita mengarah ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman kita akan fenomena. Dengan kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi usaha mencapai susunan komponen struktural fenomena yaitu apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami (yakni teksturnya), variasi imajinatif menanyakan “bagaimana” pengalaman itu mungkin (yaitu strukturnya). Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa kondisi-kondisi tersebut tidak mungkin fenomena itu akan menjadi sebagaimana adanya. Kondisi ini dapat meliputi waktu, ruang atau hubungan-hubungan sosial. Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena. (“The phenomenological method of gaining understanding involves three distinct phases of contemplation: ephoce, phenomenological reduction and imaginative variation (for a detailed account of these, see Moustakas 1994). Epoche requires the suspension of presuppositions and assumptions, judgements and interpretations to allow ourselves to become fully aware of what is actually before us. In phenomenological reduction we describe the phenomenon that present itself to us it in totality. This includes physical features such as shape, size, colour and texture, as well as experiential features such as the thought and feelings that appear in our consiousness as we attend to the phenomenon. Through phenomenological reduction, we identify the constituens of our experience of the phenomenon. In other words, we become aware of what makes the experience what it is. Imaginative variation involves an attempt to access the structural components of the phenomenon. That is, while phenomenological reduction is concerned with “what”is experienced (i.e. its texture), imaginative variation asks “how” this experience is made possible (i.e. its structure). The aim of imaginative variation is to identify the conditions associated with the phenomenon and whitout which it would not be what it is. This could involve time, space or social relationships. Finally, textural and structural descriptions are integrated to arrive at an understanding of the essence of the phenomenon”) (Willig, 1999: 52). 


3) Fenomenologi dan Psikologi

Menurut Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem pemikiran filsafat, rekomendasi metodologinya telah terbukti menarik minat peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini disebabkan fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut: 

Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara bagaimana sesuatu itu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran subjek, berusaha menangkap keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman tersebut.

(“Even though transcendental phenomenology was conceived as a philosophical system of thought, its methodological recommendations have proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the content of consciousness and individual’s experience of the word as Kvale (1996 b:53) put it:

Phenomenology is interested in elucidating both that which appears and the manner in which it appears. It studies the subjects perspectives of their word; attempts to describe in detail the content and structure of the subjects consciouness, to grasp the qualitative diversity of their experiences and to explicate their essential meanings.

Selanjutnya dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris dalam psikologi telah dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975, 1985), “jadi korban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah” (Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. (“Empirical phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological investigation included “feeling understood” (Van Kaam 1959), “learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979), “angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is another reason why this approach appeals to psychological researchers. However, there are differences in focus and emphasis between transcendental phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willig, 1999:52-53). 

Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan variasi pengalaman manusia daripada mengidentifikasi esensi-esensi dalam pengertian Husserl. Tambahan pula penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi, jika ada mengklaim bahwa tidak mungkin “menyingkirkan” seluruh prasangka dan bias dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. Agaknya, usaha memberi tanda kurung pada fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti melakukan pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui sesuatu. Akhirnya sangat penting untuk melakukan pembedaan antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana ia menampakan diri kepada peneliti, dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus seperti yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan fenomenologis menuntut (mensyaratkan) intropeksi oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan upaya “masuk ke dalam” pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan pengalaman terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh peneliti. (“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more concerned with the diversity and variability of human experience than with the identification of essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage in a critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it (see reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between phenomenological contemplation of an object or event as it present it self to the researcher, and phenomenological analysis of an account of a particular experience as presented by a research participant. The former requires introspective attention to one’s own experience, where as the latter an attempt to “get inside” someone else’s experience on the basis of their description of it. In phenomenological psychological research, the research participotion’s account becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig, 1999: 53).



INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI

a. Interpretive

Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).

Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham interpretive dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered with ideas stemming from the German intellectual tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of ordinary language philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”

Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften) berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims and methods of the social sciences are identical to those of the natural sciences). They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences (Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation (Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”

Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan penjelasan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:

“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are terms that routenely appear in the lexicon of social science methodologists and philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of their user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological and philosophical persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general direction of where instances of particular kind of inquiry can be found. However they “merely suggest directions along which to look” rather than provide descriptions of what to see.”

Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).

Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).

Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena (noumenon), penulis akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Metode Etnografi” sebagai berikut:

“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.”

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan jahat.

Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1) Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan gerombolan sangat berbeda.

2) Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.

Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8) “The Interpretation of Cultures, Selected Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.

Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang harus melakukan “thick description” (“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”

b. Hermeneutik

Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).

Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).









Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam Sumaryono, 1993: 24).

Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).

Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan banyak persoalan.

Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono, 1993: 28).

c. Fenomenologi

1) Pengertian Fenomenologi

Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.

Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan dengan pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui sebagaiman adanya.

Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu mana pun.

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.

Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat “menempatkan diantara tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.

Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita (“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is experienced by human beings within particular contexts and at particular times, rather than in abstract statements about the nature of the world in general. Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness as we engage with the world around us”).

Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk realitasnya pada suatu saat manapun. Penampilan suatu objek sebagai fenomena perseptual bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting, orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri dan dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena itu merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan memokuskan diri “di mana letak kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931: 262), dan memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi dengan merasa, berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi (Willig, 1999: 51) (“According to a phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all objects and subjects must present themselves to us as something, and their manifestation as this or that something constitutes their reality at any one time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s location and context, angle of perception and importanly, the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and purposes). This is referred to as intentionality. Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that “self and world are inseparable components of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added on to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional and therefore constitutive of experience itself. However, at the same time, transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl, 1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51). 


2) Metode Fenomenologi

Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi, membentuk bagian sentral yang disebut fenomenologi transendental. Husserl menyatakan adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu keadaan kesadaran yang belum direfleksikan, yang memungkinkan kita menggambarkan fenomena sebagai mana mereka yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan serangkaian tahap akan membantu filsof dari persepsi segar tentang fenomena yang dikenal ke upaya menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang berasal dari cara ini akan bebas dari penjelasan akal sehat dan ilmiah dan interpretasi-interpretasi atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya. (“The phenomenological method of deriving forms a central part of transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to transcend presuppositions and biases and to experience a state of pre-reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction of the essences that give the phenomena their unique character. Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notions, scientific explanations and other interpretations or abstractions that characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of the world as it appears to us in our engagement with it” (Willig, 1999: 52). 



Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda fenomenologi dalam memperoleh pengertian meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang membedakan yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara penuh keberadaan apa yang nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh. Penggambaran itu juga meliputi ciri-ciri fisik seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam kesadaran kita ketika kita mengarah ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman kita akan fenomena. Dengan kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi usaha mencapai susunan komponen struktural fenomena yaitu apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami (yakni teksturnya), variasi imajinatif menanyakan “bagaimana” pengalaman itu mungkin (yaitu strukturnya). Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa kondisi-kondisi tersebut tidak mungkin fenomena itu akan menjadi sebagaimana adanya. Kondisi ini dapat meliputi waktu, ruang atau hubungan-hubungan sosial. Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena. (“The phenomenological method of gaining understanding involves three distinct phases of contemplation: ephoce, phenomenological reduction and imaginative variation (for a detailed account of these, see Moustakas 1994). Epoche requires the suspension of presuppositions and assumptions, judgements and interpretations to allow ourselves to become fully aware of what is actually before us. In phenomenological reduction we describe the phenomenon that present itself to us it in totality. This includes physical features such as shape, size, colour and texture, as well as experiential features such as the thought and feelings that appear in our consiousness as we attend to the phenomenon. Through phenomenological reduction, we identify the constituens of our experience of the phenomenon. In other words, we become aware of what makes the experience what it is. Imaginative variation involves an attempt to access the structural components of the phenomenon. That is, while phenomenological reduction is concerned with “what”is experienced (i.e. its texture), imaginative variation asks “how” this experience is made possible (i.e. its structure). The aim of imaginative variation is to identify the conditions associated with the phenomenon and whitout which it would not be what it is. This could involve time, space or social relationships. Finally, textural and structural descriptions are integrated to arrive at an understanding of the essence of the phenomenon”) (Willig, 1999: 52). 


3) Fenomenologi dan Psikologi

Menurut Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem pemikiran filsafat, rekomendasi metodologinya telah terbukti menarik minat peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini disebabkan fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut: 

Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara bagaimana sesuatu itu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran subjek, berusaha menangkap keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman tersebut.

(“Even though transcendental phenomenology was conceived as a philosophical system of thought, its methodological recommendations have proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the content of consciousness and individual’s experience of the word as Kvale (1996 b:53) put it:

Phenomenology is interested in elucidating both that which appears and the manner in which it appears. It studies the subjects perspectives of their word; attempts to describe in detail the content and structure of the subjects consciouness, to grasp the qualitative diversity of their experiences and to explicate their essential meanings.

Selanjutnya dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris dalam psikologi telah dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975, 1985), “jadi korban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah” (Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. (“Empirical phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological investigation included “feeling understood” (Van Kaam 1959), “learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979), “angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is another reason why this approach appeals to psychological researchers. However, there are differences in focus and emphasis between transcendental phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willig, 1999:52-53). 

Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan variasi pengalaman manusia daripada mengidentifikasi esensi-esensi dalam pengertian Husserl. Tambahan pula penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi, jika ada mengklaim bahwa tidak mungkin “menyingkirkan” seluruh prasangka dan bias dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. Agaknya, usaha memberi tanda kurung pada fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti melakukan pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui sesuatu. Akhirnya sangat penting untuk melakukan pembedaan antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana ia menampakan diri kepada peneliti, dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus seperti yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan fenomenologis menuntut (mensyaratkan) intropeksi oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan upaya “masuk ke dalam” pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan pengalaman terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh peneliti. (“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more concerned with the diversity and variability of human experience than with the identification of essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage in a critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it (see reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between phenomenological contemplation of an object or event as it present it self to the researcher, and phenomenological analysis of an account of a particular experience as presented by a research participant. The former requires introspective attention to one’s own experience, where as the latter an attempt to “get inside” someone else’s experience on the basis of their description of it. In phenomenological psychological research, the research participotion’s account becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig, 1999: 53).