Seperti diuraikan di atas, suatu upaya terpadu dan lintas sektor harus disiapkan, mulai dari perencanaan, penciptaan perangkat hukum, perencanaan strategis, koordinasi pelaksanaan, evaluasi dan pengembangan sistem perlindungan sosial yang kuat. Berikut ini disajikan pokok-pokok kebijakan yang harus dikoordinasikan dan dipadukan agar terbentuk sistem perlindungan sosial yang kuat.
A. Kerangka Hukum: UU SJSN dan UU Kesejahteraan Sosial
Kebijakan tentang pengembangan sistem perlindungan sosial harus didasari pada peraturan perundangan yang mendasari, yang jelas, yang memudahkan semua pihak memahami sistem tersebut. Sebuah undang-undang, UU No 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dihasilkan dan memuat skema sistem jaminan sosial formal terpadu dan terkoordinasi. Namun demikian, rincian lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (PerPres) masih harus dirumuskan. Dalam waktu beberapa tahun ke depan, upaya yang harus dilakukan adalah merumuskan implementasi dan menerbitkan beberapa PP dan PerPres yang sinkron dan terpadu, yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya, berdasarkan skema-skema yang telah dirumuskan secara garis besar dalam UU SJSN.
Dalam bidang perlindungan sosial yang bukan permanen, berbentuk bantuan sosial, diatur dengan sangat sederhana dalam Undang-undang No.6 tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-undang ini sudah berusia 30 tahun dan masih sangat sederhana serta belum menunjukan skema terarah dan terpadu antara para pelaku perlindungan sosial. Oleh karenanya, dalam waktu dekat, UU ini harus diamendemen atau disusun UU baru yang mencakup bantuan sosial, di luar keadaan darurat bencana, yang kini naskah RUU nya telah siap dibahas oleh DPR RI.
Yang harus diantisipasi oleh semua pihak adalah koordinasi dan sinkronisasi antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Naskah RUU Penanganan Bencana yang dibahas atas inisiatif DPR RI, setelah kejadian tsunami, harus sinkron dengan UU SJSN dan RUU pengganti UU Kesejahteraan Sosial.
Untuk memudahkan perumusan, berikut ini disajikan pokok-pokok skema yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
1. Kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib bagi seluruh penduduk yang dilaksanakan secara bertahap (Pasal 4). Ketentuan penahapan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
2. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. (Pasal 17).
3. Bagi fakir miskin dan orang tidak mampu, Pemerintah secara bertahap memberikan bantuan iuran (Pasal 14). Pada tahap pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh Pemerintah diberikan untuk program jaminan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17).
4. Jenis program jaminan sosial meliputi (a) jaminan kesehatan; (b) jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pensiun; dan (e) jaminan kematian (Pasal 18).
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial.
Salah satu ciri menonjol dari UU SJSN tersebut adalah kepesertaannya yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk dan adanya subsidi (bantuan) iuran bagi penduduk miskin dan kurang mampu (rentan). Dengan ketentuan itu maka penduduk miskin tetap memperoleh jaminan sosial meskipun mereka tidak mampu membayar iuran sebab iuran bagi penduduk miskin disubsidi oleh pemerintah. Pada tahap awal bantuan iuran yang diberikan pemerintah kepada penduduk miskin masih terbatas pada jaminan kesehatan. Oleh karena itu, sebuah perlindungan sosial lain yang memungkin penduduk rentan berproduksi dan tercegah dari kemiskinan, bantuan sosial atau pemberdayaan lain, baik oleh sektor lain dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, harus diupayakan. Yang penting adalah juga harus dicegah terjadinya duplikasi program perlindungan sosial kepada penduduk yang sama.
Di akhir tahun 2005 dan akan diteruskan di tahun 2006 dan seterusnya, 60 juta penduduk miskin dan penduduk rentan sudah mendapat jaminan kesehatan yang disalurkan melalui PT Askes, sesuai dengan skema UU SJSN. Dengan penduduk miskin memperoleh jaminan pelayanan, maka subsidi bantuan sosial pemerintah kepada penduduk miskin harus diarahkan untuk program lain yang menjamin kecukupan kebutuhan gizi dan kemampuan bekerja produktif.
B. Penentuan Sasaran
Salah satu masalah kritis yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan sosial adalah berkaitan dengan penentuan sasaran. Masalah penentuan sasaran terjadi pertama-tama karena ada keterbatasan dana di satu sisi, sementara jumlah sasaran yang harus dilindungi demikian besar di sisi lain. Jika pemerintah memiliki dana cukup besar untuk memberikan bantuan sosial kepada seluruh penduduk miskin dan cakupan sistem jaminan sosial nasional sudah mencakup sebagian besar penduduk maka masalah penentuan sasaran barangkali tidak begitu menjadi masalah. Namun demikian, kondisi saat ini belum memungkinkan untuk itu sehingga masalah penentuan sasaran masih menjadi hal yang sangat kritis dalam pemberian bantuan sosial. Masalah lain dalam penentuan sasaran ini adalah terkait dengan kriteria dan mekanisme pendataan.
Salah satu masalah kritis yang dihadapi selama ini, termasuk juga dalam menentukan penduduk miskin dan penduduk rentan, antara lain adalah berkaitan dengan penentuan batas (cut of point) penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penghitungan numerik tentang batas penduduk miskin dalam praktek di lapangan sangat sensitif. Oleh karena itu perlu dilakukan studi yang mendalam tentang bagaimana formula penentuan batas tersebut, agar tidak semata-mata numerik tetapi juga mempertimbangkan persepsi keadilan dan kewajaran yang berkembang di masyarakat.
Berkaitan dengan penduduk rentan, masalah kriteria selama ini belum ada data yang secara tegas menyatakan berapa besar jumlah penduduk rentan dan dimana saja distribusinya. Ada beberapa kajian teoritik yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti berkaitan dengan penduduk rentan. Namun tentu saja hasil kajian tersebut tidak bisa serta merta dapat digunakan untuk dijadikan dasar dalam menentukan sasaran penduduk rentan di lapangan.
Data yang paling besar yang dapat digunakan untuk menentukan penduduk rentan adalah data yang dikumpulkan oleh BPS melalui Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) atau yang dikenal dengan Sensus Kemiskinan. Namun simulasi lebih mendalam terhadap berapa besar penduduk rentan dengan menggunakan hasil sensus kemiskinan belum dapat dilakukan mengingat proses verifikasi terhadap data tersebut masih terus berlangsung.
Sementara pengertian penduduk rentan dari perspektif legal daat ditemui setidaknya di dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembinaan Keluarga Sejahtera.
Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dinyatakan, bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Di dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Dalam UU No. 10 Tahun 1992 dinyatakan, bahwa masyarakat rentan adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fisiknya. Termasuk di dalamnya adalah komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar, dan remaja bermasalah.
Sehubungan dengan penduduk rentan tersebut Direktorat Pendaftaran Penduduk, Ditjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Sistem Prosedur dan Standar Pelayanan Pendaftaran Penduduk Rentan. Dalam pedoman tersebut yang dimaksud dengan penduduk rentan adalah orang lanjut usia (lansia), anak balita, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat (UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) serta komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar dan remaja bermasalah (UU No. 10 Tahun 1992).
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud penduduk lanjut usia adalah penduduk berusia lebih dari 60 tahun dan termasuk kategori prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 (satu) karena alasan ekonomi. Wanita hamil adalah wanita yang termasuk penduduk rentan kesehatan. Anak balita adalah anak dengan usia di bawah 5 tahun yang rentan terhadap penyakit dan kemampuan potensi inteligensianya yang terkait pemenuhan gizi masih dapat dikembangkan. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan pekerjaan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik (tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, tuna daksa), dan penyandang cacat mental. Fakir miskin adalah keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera tahap 1 (KS 1). Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab, orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Remaja bermasalah adalah remaja yang terlibat narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan tindak kriminal. Komunitas adat terpencil adalah penduduk yang bertempat tinggal dan atau berkelana di tempat-tempat yang secara geografis terpencil, terisolir dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan penduduk pada umumnya.
Jika pendaftaran penduduk rentan yang dilakukan oleh Ditjen Administrasi Kependudukan dapat berjalan dengan baik maka seharusnya jumlah penduduk rentan (sebagaimana digariskan pada dua undang-undang tersebut) dapat diketahui dengan baik. Namun karena pendaftaran penduduk yang ada selama ini masih belum efektif maka jumlah penduduk rentan sesuai pengertian kedua undang-undang tersebut belum dapat diketahui dengan baik.
C. Kelembagaan
Kelembagaan pengelola dan penyelenggara perlindungan sosial secara garis besar dipilah menjadi dua, yaitu kelembagaan yang menangani jaminan sosial dan kelembagaan yang menangani bantuan sosial lain.
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional lembaga yang menangani jaminan sosial disebut sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Selama ini sudah ada empat BPJS yang dikenali dan disebutkan dalam UU SJSN, yang penyelenggaraannya harus menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Selain empat BPJS tersebut, dapat dibentuk BPJS baru dengan UU. Pasal 5 ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (baru) harus dibentuk dengan Undang-Undang. Semula Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa yang dimaksud BPJS dalam Undang-Undang ini adalah PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT ASABRI (Persero) dan PT Askes (Persero). Namun dalam judicial review, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak mengikat dan penetapan empat badan penyelenggara untuk program jaminan sosial nasional sudah cukup diatur oleh Pasal 52 UU SJSN. Jadi, esensinya keempat BPJS yang telah ada sah dan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dalam pengaturan lebih lanjut, sebaiknya diatur agar satu BPJS menyelenggarakan satu program secara nasional agar tidak terjadi tumpang tindih, baik programnya maupun penduduk yang dilayaninya. Sementara itu, pemerintah daerah dapat mengembangkan program jaminan sosial bagi penduduk atau program yang belum atau tidak dilayani oleh BPJS nasional. Dengan demikian, akan terjadi harmoni dan keterpaduan perlindungan sosial bagi seluruh penduduk dan untuk berbagai kebutuhan dasar yang layak, dalam rangka mencegah bertambahnya penduduk miskin dan atau rentan.
Kalau menilik kelembagaan jaminan sosial di berbagai negara memang tampak bervariasi dari banyak lembaga/badan penyelenggara sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional yang mengelola berbagai program jaminan sosial. Banyaknya badan penyelenggara tersebut mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program jaminan sosial. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan adanya kecenderungan mengarah kepada kelembagaan yang semakin kecil jumlahnya, bahkan ada negara yang jaminan sosialnya hanya dikelola oleh satu badan untuk seluruh program.
Di samping itu, tampak adanya suatu pola yang sama yaitu penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik yang dikelola langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi) pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam pengambilan keputusan penting dan di dalam pengelolaan dana. Pengelolaan bersifat nirlaba, artinya setiap sisa hasil usaha akan dikembalikan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta dan bukan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham atau pemerintah, memang sejalan dengan falsafah, visi-misi, dan tujuan jaminan sosial sebagai upaya perlindungan dan bukan upaya mencari dana.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kebijakan ke depan tampaknya perlu mengarah kepada kelembagaan jaminan sosial yang mampu memberikan kepastian jaminan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan hidup layak bagi setiap penduduk, secara berkelanjutan sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara berkeadilan. Penyelenggaraan program perlindungan sosial harus bertumpu kepada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi seluruh rakyat, kegotong royongan, memberikan perlindungan yang adil dan merata pada setiap peserta, peserta membayar iuran, dikelola secara nasional agar terpenuhi hukum angka besar (law of the large numbers) yang efisien dan efektif, transparan dan dapat dipercaya.
Kelembagaan jaminan sosial haruslah dibentuk sebagai suatu sistem yang integral, terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya tumpang tindih sebagaimana yang terjadi pada program jaminan sosial yang ada saat ini. Kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial haruslah kelembagaan yang independen, menerapkan good governance dan dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para stakeholders yaitu peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Lembaga tersebut merupakan lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian amanah dari dana yang terkumpul.
Penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad hoc oleh banyak instansi, sementara Departemen Sosial yang sesuai tugas dan fungsinya mengelola bantuan sosial dari pemerintah memiliki cakupan yang amat terbatas. Departemen Sosial hanya memberikan bantuan sosial kepada mereka yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang daya cakupnya juga terbatas. Padahal yang memerlukan bantuan sosial sesuai dengan pengertian di atas tidak hanya yang tergolong PMKS tetapi penduduk lain yang juga rentan terhadap berbagai risiko sosial. Kedua, perubahan tata pemerintahan sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah telah merubah secara signifikan bentuk, fungsi, dan kewenangan kelembagaan yang menangani bantuan sosial. Peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dalam mengelola berbagai program pembangunan jauh lebih besar dari sebelumnya, sementara di sisi lain kemampuan antar daerah juga sangat bervariasi. Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu, maka pengelolaan bantuan sosial utamanya bagi penduduk miskin dan penduduk rentan harus dijabarkan secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
Studi ini belum menganalisis secara lengkap dan rinci tentang bagaimana bentuk kelembagaan yang ideal untuk mengelola bantuan sosial. Namun studi ini merekomendasikan bahwa kelembagaan pengelolaan bantuan sosial, yang sifatnya sementara di luar program jaminan sosial yang diatur UU SJSN, sebaiknya dikoordinasikan oleh satu instansi yang memang memiliki tugas dan kewenangan mengelola bantuan sosial, yang dalam hal ini, misalnya, adalah Departemen Sosial. Sementara itu, pengelola di lapangan dapat diserahkan kepada masing-masing daerah yang didanai bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan bantuan masyakarat. Dalam hal penentuan sasaran (siapa penduduk miskin dan rentan yang memang berhak dan pantas memperoleh bantuan sosial) diatur standar nasional yang ditetapkan, misalnya, oleh Departemen Sosial sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sementara daerah yang mampu dapat meningkatkan standar tersebut, dengan konsekuensi penambahan dana oleh pemda terkait. Mengingat masalah penentuan penduduk miskin dan rentan sebagai sasaran bantuan seringkali mengalami banyak kendala di tingkat pelaksanaan di lapangan maka Departemen Sosial berangkat dari data penduduk miskin dan rentan yang ada perlu mengembangkan instrumen yang tepat dan mudah diterapkan dalam melakukan seleksi siapa sebenarnya penduduk miskin dan rentan yang benar-benar layak untuk diberikan bantuan sosial. Selanjutnya instrumen tersebut disosialisikan ke setiap daerah untuk melaksanakannya. Sedangkan database-nya dibangun secara terpusat secara nasional. Pengembangan database penduduk miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial hendaknya mengacu pada Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang saat ini sedang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri. Siapa yang perlu mendapat bantuan sosial secara permanen dan siapa yang cukup diberikan secara insidental juga perlu dicakup dalam pendataan ini, termasuk pula jenis atau bentuk bantuan apa yang perlu diberikan (uang tunai, barang atau pelayanan, pangan, papan dan sebagainya).
Dengan kelembagaan yang kuat dan terkoordinir di satu pintu maka diharapkan pelaksanaan bantuan sosial ke depan dapat dilakukan secara lebih baik.
D. Skema Pendanaan
Pendanaan program sistem perlindungan sosial yang bersumber dari bantuan sosial masih bertumpu pada sumber utama APBN-APBD, paling tidak untuk 10 tahun ke depan. Kontribusi pemerintah daerah yang secara umum selama ini masih rendah harus ditingkatkan secara bertahap. Namun demikian, perlu dihargai upaya beberapa pemda seperti di Tabanan, Jimbaran, Lebak, Musi Banyuasin, Kutai Kertanegara, dll, yang dari segi alokasi APBD telah mengalokasikan dana cukup signifikan untuk program-program perlindungan sosial, baik yang disalurkan kepada fasilitas pelayanan pemerintah maupun yang disalurkan melalui bantuan iuran program jaminan kesehatan.
Sumber dana kedua harus berasal dari iuran atau kontribusi setiap penduduk, baik yang dipotong langsung dari gaji/upah, yang dibayarkan oleh majikan sebagai tanggungjawab majikan dan investasi majikan terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Yang menjadi tantangan terbesar dan memerlukan studi serta eksperimen yang seksama adalah pengumpulan dana dari tenaga kerja di sektor informal, seperti pedagang eceran, warung-rumah, usaha rumah tangga, petani mandiri dan nelayan mandiri. Kelompok sektor informal tidak memiliki penghasilan tetap sebagaimana gaji atau upah yang diterima karyawan setiap bulan. Kesadaran kelompok ini untuk menabung atau membayar iuran juga umumnya rendah, sehingga kesadaran sendiri akan sulit diharapkan. Pemaksaan atau penegakan hukum kepada kelompok ini sangat sulit dan sangat berbeda bila dibandingkan dengan pemaksaan majikan untuk memotong gaji dan menambahkan kewajibannya dalam membayar iuran. Uji coba dan penelitian seksama di berbagai daerah, dengan memberdayakan kearifan lokal, namun tetap pada koridor sistem nasional untuk perlindungan dasar, harus terus dilakukan dalam waktu sepuluh tahun ke depan.
Selain kedua sumber yang dapat dijamin keberlanjutannya di atas, bantuan solidaritas sosial dari masyarakat, baik berupa zakat, infak, sedekah, karitas, ataupun sumbangan yang dapat mengurangi pajak yang diberi insentif sistem perpajakan, harus terus dikembangkan. Meskipun pada umumnya pendanaan bersumber eksternal seperti ini tidak menjamin kecukupan dan ketepatan sasaran, peran sumber dana ini cukup besar di kemudian hari.
Bantuan dana berupa pinjaman luar negeri untuk program yang bersifat konsumtif, pemberian bantuan langsung, harus dikurangi sehingga menjadi tidak ada sama sekali. Sesungguhnya, potensi di dalam negeri dari mereka yang mampu juga cukup besar. Selain itu, dana yang terkumpul dari program jaminan sosial jangka panjang, seperti jaminan hari tua dan jaminan pensiun, yang terkumpul dan terakumulasi untuk jangka panjang, juga dapat digunakan untuk menutupi kekurangan pendanaan lokal.
0 comments:
Post a Comment