Oleh : Leonid Julivan Rumambi
Saat ini langit Indonesia semakin banyak dipenuhi pesawat milik maskapai baru yang menawarkan harga separuh atau bahkan sepertiga dari harga tiket pada waktu pemainnya hanya Garuda Indonesia dan kawan-kawan. Low cost carrier adalah istilah yang digunakan maskapai-maskapai itu sebagai strategi menekan biaya pada tingkat efisiensi tertentu (namun tetap mempertahankan unsur keamanan dan keselamatan penerbangan), sehingga tiket bisa dijual dengan harga lebih murah.
Ada juga yang menyebutkan istilah low fare carrier, namun banyak wacana karena strategi yang dilakukan bukan untuk "meminimalisir biaya" tetapi untuk menjual tiket murah. Logika berpikirnya, kalau bisa membayar lebih murah, mengapa harus membayar lebih mahal untuk layanan yang sama?
Awal munculnya maskapai-maskapai itu selama beberapa waktu disambut antusias. Mulai banyak penumpang baru mencobanya. Efek lainnya, maskapai pemain lama rontok satu per satu hingga tinggal Garuda dan Merpati. Ada yang salah? Tentu saja, karena terjadi perebutan penumpang di tingkat harga ekonomis yang membuat mereka tidak bisa bertahan hingga kalah bersaing atau bahkan bangkrut.
Setelah satu demi satu mulai mengalami kecelakaan bahkan dengan intensitas semakin tinggi, kecemasan dan kekhawatiran mulai muncul karena penerbangan menjadi berbahaya. Penumpang mempertaruhkan keselamatannya untuk terbang dengan risiko terluka, cacat, bahkan kehilang- an nyawa. Tentu itu harga yang sangat mahal.
Tercatat sekitar 30 - 40 kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia (bahkan bisa lebih) baik dari maskapai penerbangan komersial maupun dari TNI AU dan Polri sampai tahun 2007. Jumlah itu mungkin bisa bertambah apabila ada kecelakaan-kecelakaan lain yang tidak tercatat. Garuda Indonesia tercatat 11 kali mengalami kecelakaan. Pada urutan kedua adalah Lion Air, 7 kali.
Pada 2007 kita dikejutkan dengan hilangnya Adam Air bersama 96 penumpang dan 6 awak kabinnya di laut sebelah barat Sulawesi. Simpang-siurnya informasi dan penanganan "manajamen bencana" yang kurang maksimal dari perusahaan itu menjadi publikasi negatif. Selain itu kecelakaan lain yang merenggut korban cukup parah beberapa tahun terakhir adalah kecelakaan Mandala Airlines yang menewaskan 100 dari 117 penumpangnya, ditambah 41 warga di perumahan pada area kecelakaan tahun 2005.
Dalam sejarah kecelakaan pesawat terbang Indonesia, tercatat kecelakaan terburuk 10 tahun terakhir adalah penerbangan Garuda Indonesia yang menewaskan 222 penumpang dan 12 awak pada 1997. Setelah tahun 2000, jumlah kecelakaan pesawat tercatat 19 kali penerbangan, dengan jumlah kecelakaan maskapai baru yang menawarkan strategi harga tiket "murah" tercatat 15 di antaranya.
Sungguh statistik kecelakaan yang tidak menyenangkan, karena penumpang selalu berharap dapat tiba di kota tujuan dengan selamat. Kalau nyawa taruhannya tentu penumpang akan mulai selektif dan hati-hati memilih maskapai yang bisa dipercaya. Sebagian informasi penerbangan itu bisa dilihat di situs wikipedia dalam dokumentasi "daftar kecelakaan dan insiden pesawat terbang".
Perubahan untuk Perbaikan
Direktur operasional Garuda pernah berkata, kecelakaan pesawat tidak selalu disebabkan oleh single factor, khususnya kesalahan pilot, namun dapat berarti multiple factor yang bisa jadi disebabkan berbagai faktor lainnya. FAA (Federasi Keselamatan Penerbangan Internasional) menyebutkan penyebab kecelakaan pesawat terbang adalah faktor manusia (66,7 persen), armada pesawat (27,1 persen), cuaca (13,2 persen). Di Indonesia mungkin faktor armada pesawat bisa jadi memiliki persentase lebih besar.
Dalam berbagai sejarah kecelakaan pesawat terbang dunia bahkan pernah terjadi kecelakaan karena terorisme/pembajakan, spionase/sabotase, disambar petir, menabrak gunung, jatuh karena kabut, penipuan asuransi, kesalahan kendali komputer atau bahkan tidak sengaja ditembak peluru kendali militer. Black box sebagai salah satu instrumen dalam pesawat selalu menjadi dokumentasi mengungkap penyebab kecelakaan. Indonesia biasa mengirimkan black box kecelakaan pesawatnya ke Australia karena tidak memiliki teknologi menyingkap isinya.
Kunci keberhasilan perusahaan untuk dapat bersaing tidak hanya dengan melakukan adu strategi pemasaran, yaitu mengutamakan layanan dan semua keunggulan maskapainya, namun juga perlu hati-hati memprioritaskan faktor keselamatan. Rendahnya harga tiket jangan sampai berhubungan dengan faktor perawatan pesawat sehingga mengurangi faktor keselamatan, fatal kerugian yang harus dibayar dengan terjadinya kecelakaan.
Maskapai apa pun senantiasa mengutamakan keselamatan awak, penumpang, dan pesawatnya walau semuanya diasuransikan. Setiap kecelakaan akan memberikan dampak negatif bagi reputasi dan ini tinta merah yang tidak akan bisa dihapus. Kalau melihat sejarah, kita akan mengetahui selama ini insiden pesawat terbang maskapai apa saja yang pernah mengalami kecelakaan, tentu statistik itu bisa mempengaruhi kepercayaan juga. Itulah risiko bisnis.
AAIC (Aircraft Accident Investigation Commission) pernah menyatakan kecelakaan pesawat terbang di Indonesia lima kali lebih banyak daripada kecelakaan pesawat di Amerika Serikat. Dalam kondisi angka kecelakaan pesawat meningkat drastis, patut dicurigai ada hal keliru yang perlu disele- saikan.
Perlu ada regulasi yang memihak pada keselamatan konsumen dan pengawasan yang ketat, berhubung kita terbiasa membuat sesuatu yang baru namun kurang bisa menjaga atau melakukannya. Ancang-ancang pemerintah membuat regulasi dengan membatasi usia pesawat terbang maksimal 10 tahun demi keselamatan pun masih terombang-ambing pro dan kontra dari maskapai penerbangan serta berbagai pihak.
Data Aero Transport Data Bank (Januari 2007) menyebutkan usia rata-rata pesawat terbang milik maskapai Indonesia, yakni Garuda Indonesia (11,3 tahun), Citilink (16,6 tahun), Lion Air (17,7 tahun), Adam Air (19,4 tahun), Indonesia Air Asia (19,5 tahun), Batavia (22,3 tahun, tidak termasuk Airbus A-319), Merpati (22,8 tahun), Sriwijaya (24,5 tahun), dan Mandala (24,5 tahun). Bisa diperkirakan kerugian mereka apabila aturan usia maksimal pesawat terbang 10 tahun diberlakukan. Bagi pemerintah pun ini bisa jadi buah simalakama bila terkait dengan efeknya pada tenaga kerja.
Berubah adalah pilihan, masalahnya hanya kapan, mengapa, dan bagaimana caranya. Seorang pakar pemasaran pernah berkata, "tidak peduli seberapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga", itulah inti perubahan. Berikanlah keamanan kepada konsumen untuk bepergian, karena terbang itu sangat mahal kalau nyawa menjadi taruhannya. Asuransi puluhan bahkan ratusan juta tidak akan pernah bisa menggantikan meninggalnya sosok keluarga atau teman yang dicintai.
0 comments:
Post a Comment