Dalam beberapa hari kedepan, umat Islam diseluruh dunia akan menjalani ibadah puasa. Ibadah puasa merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam. Tetapi, didalam dunia penerbangan, ibadah puasa merupakan suatu dilema. Pada satu sisi, puasa merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh umatnya. Tetapi, disisi lain, berpuasa dari segi medis dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi. Hal ini dapat berakibat fatal, karena apabila seorang penerbang kekurangan energi pada saat melaksanakan tugas, maka akan mengakibatkan sesuatu hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya incident atau bahkan accident. Accident / kecelakaan pesawat yang diakibatkan karena penerbang sedang berpuasa terjadi di Malaysia dan Kalimantan (Sari, 2010). Hal ini terungkap dari kotak hitam yang ditemukan dan dari hasil penyelidikan kecelakaan diketahui bahwa penerbang pesawat tersebut kurang berkonsentrasi dikarenakan penerbang tersebut sedang berpuasa. Artikel ini hanya membahas efek samping berpuasa dari segi medis yang dapat mempengaruhi crew atau awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam dunia medis, berpuasa diartikan bahwa kita tidak memasukan makanan atau minuman ke dalam tubuh untuk jangka waktu delapan sampai dengan dua belas jam (Knight, 2010). Dengan berpuasa, maka tubuh akan kekurangan beberapa zat penting yang dapat mengganggu kerja tubuh. Salah satu zat itu adalah glucose / glukosa atau zat gula. Zat gula merupakan sumber energi yang diperlukan oleh tubuh. Zat gula ini diperoleh dari makanan yang mengandung gula atau karbohidrat. Dalam keadaan berpuasa, tubuh akan kekurangan glukosa dan tubuh melalui otak akan mencoba mencari glicogen didalam bagian tubuh lainnya. Glycogen adalah suatu molekul yang merupakan bentuk energi yang dibuat dan disimpan terutama di dalam liver / hati dan muscles / otot. Setelah makanan masuk kedalam tubuh, kadar / level glukosa akan meningkat. Selanjutnya, insulin akan merangsang enzimes dan glukosa ini kemudian ditambahkan ke glicogen. Pada proses ini liver / hati akan menyerap glukosa lebih banyak daripada yang harus dilepas. Setelah makanan dicerna, kadar gula dalam tubuh mulai turun dan insulin yang dihasilkan akan berkurang sehingga memaksa tubuh untuk menyerap cadangan glicogen.
Dalam keadaan berpuasa, kadar / level glukosa tidak akan naik dikarenakan tidak ada asupan makanan kedalam tubuh. Oleh karena itu, ketika energi dibutuhkan, tubuh akan mencarinya melalui cadangan glicogen yang selanjutnya akan dirubah menjadi glukosa yang merupakan sumber energi bagi tubuh. Semakin lama berpuasa, maka kadar gula darah akan menurun dibawah normal dan ini akan memicu kerusakan glicogen. Kadar gula yang rendah ini akan mengakibatkan beberapa efek mulai dari perasaan yang tidak menentu, rasa lemah, lekas capai, pening, mengantuk, jantung berdebar, kejang, pingsan, sampai dengan kerusakan otak. Selain itu, kekurangan gula darah dalam tubuh juga akan memperlambat kerja otak atau daya pikir menurun (Grimes, 2010). Berpuasa dapat juga mengakibatkan penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat menimbulkan gejala – gejala:
a. Menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai pengaruh gaya G.
b. Mudah timbul “grey out”, ”black out”, dan pingsan (“G induced loss of consiousness”). (Diskes, 2010)
Tetapi, tidak semua efek berpuasa adalah negatif karena ada beberapa manfaat dari berpuasa seperti: dapat menyembuhkan berbagai macam bentuk penyakit (kencing manis, kelebihan kolesterol darah, penyakit lever, sakit maag, menurunkan obesitas, dll), menempa ketahanan jiwa yang tinggi, memelihara solidaritas sosial, dan membentuk insan hamba Tuhan yang sederhana, jujur, dan bertanggungjawab. (Diskes, 2010).
Seperti diungkapkan diatas, berpuasa mengakibatkan penurunan kadar gula darah dalam tubuh yang dapat memperlambat kerja otak atau daya pikir menurun. Lebih lanjut, dengan menurunnya daya pikir, seorang penerbang atau awak pesawat dapat kehilangan situational awareness (SA). Hal ini dapat berpengaruh buruk dikarenakan kehilangan SA merupakan salah satu faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya incident atau accident. Menurut Wiegmann dan Shappell (2001) dalam tulisannya yang berjudul A Human Error Analysis of Commercial Aviation Accidents Using the Human Factors Analysis and Classisfication System (HFACS), kehilangan SA merupakan salah satu pre-kondisi terjadinya unsafe acts. Kehilangan SA merupakan salah satu akibat dari adverse mental states yaitu kondisi mental yang dapat mempengaruhi performa dari awak pesawat (Wiegmann and Shappell, 2000). Kondisi ini disebabkan karena awak pesawat tidak dapat fokus atau kurang berkonsentrasi pada tugasnya karena fatigue atau kelelahan dan kurang tidur. Menurunnya daya pikir seorang penerbang juga dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah (decision errors). Pengambilan keputusan yang salah termasuk dalam kategori unsafe acts, meliputi: improper procedure, misdiagnosed emergency, wrong response to emergency, inappropriate manouver, dan poor decision (Wiegmann dan Shappell, 2000). Pengambilan keputusan yang benar harus dapat dilakukan oleh awak pesawat terutama dalam fase – fase kritis seperti pada saat take off, landing, dan terutama pada saat mengalami situasi darurat / emergency. Pada fase – fase inilah banyak terjadi incident dan accident sehingga awak pesawat benar – benar dituntut selalu dalam kondisi yang fit dalam melaksanakan tugasnya.
Disamping menurunnya daya pikir, berpuasa juga dapat mempengaruhi tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat membahayakan awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya. Penurunan fisik awak pesawat ini dikategorikan sebagai adverse physiological states (Wiegmann dan Shappell, 2000). Adverse physiological states berarti bahwa awak pesawat mempunyai permasalahan kesehatan atau psikologi yang dapat mengarah kepada unsafe operations. Awak pesawat yang mengalami penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak akan kehilangan sebagian daya tahan tubuhnya terhadap berbagai tekanan gaya gravitasi (G). Dengan menurunnya daya tahan tubuh terhadap gaya “G”, maka awak pesawat akan dengan mudah mengalami ”grey out”, “black out”, dan pingsan.
Dengan mempertimbangkan efek – efek tersebut diatas, maka perlu diambil suatu kebijakan yang dapat dijadikan suatu pedoman bagi awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga, tindakan yang diambil oleh awak pesawat tidak menyalahi aturan, baik itu aturan agama, organisasi, maupun aturan – aturan lainnya. Kebijakan yang diambil diharapkan dapat memenuhi tuntutan semua pihak dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan operator, penumpang, maupun material. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa penerbang tidak wajib untuk berpuasa (Syafirdi, 2010). Hal ini dkarenakan penerbang mempunyai tanggung jawab yang besar dan memerlukan konsentrasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Tetapi, tidak semua penerbang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa, hanya para penerbang yang sedang melaksanakan tugas terbang yang boleh meninggalkan ibadah puasa. Fatwa MUI juga menyebutkan bahwa para penerbang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan wajib menggantinya dengan Fidyah apabila penerbang tersebut harus menjalankan misinya setiap hari. Namun, apabila penerbang tidak melaksanakan misinya setiap hari, hanya sewaktu – waktu dalam bulan Ramadhan, maka penerbang tersebut wajib mengganti waktu puasanya di lain hari. Untuk awak pesawat TNI AU, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara nomor SKEP/18/II/1986, disebutkan bahwa “Semua penerbang yang mendapat tugas terbang dilarang puasa, kecuali bagi pesawat yang berpenerbang ganda, penerbang yang mendapat tugas terbang diperbolehkan berpuasa, apabila jadwal penerbangannya tidak melebihi pukul 10.00 waktu setempat.”
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa berpuasa mempunyai beberapa manfaat tetapi juga mempunyai beberapa efek samping, dari segi keselamatan penerbangan, yang dapat membahayakan penerbangan. Beberapa efek samping dari berpuasa dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah dalam tubuh dan penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat menyebabkan awak pesawat mengalami grey out, black out dan bahkan pingsan. Dengan mempertimbangkan efek – efek samping tersebut, diharapkan awak pesawat dapat mengetahui kemampuannya dalam melaksanakan tugas penerbangan.
0 comments:
Post a Comment