Perusahaan kecil akan berhasil apabila dikelola secara profesional oleh pengusaha-pengusaha yang memiliki jiwa dan mental kewirausahaan. Jiwa dan mental kewirausahaan tersebut menurut Yuyun Wirasasmita (1993) dapat dikembangkan melalui pendidikan. Oleh sebab itu, pengetahuan dan pengalaman sangat penting peranannya dalam membentuk sikap dan mental kewirausahaan. Sikap-sikap kewirausahaan yang timbul akibat pendidikan dan pengalaman akan menimbulkan dorongan (motif). Motivasi merupakan internalisasi atau proses batiniah, yaitu kebutuhan, dorongan hati menentukan perilaku (Martin L. Machr, 1973). Demikian juga konsep-konsep motif berprestasi pada wirausaha sangat menitikberatkan pada kerja dinamika batiniah. Melalaui sikap seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan nyata. Dalam usaha kecil, tindakan nyata adalah perilaku kewirausahaan yang hasilnya dapat dilihat dalam kinerja usaha.
Studi tentang peranan pendidikan dan pengalaman dalam membentuk sikap dan perilaku sudah banyak dibahas oleh Bloom (1974), bahwa seseorang akan mempunyai perilaku tertentu karena memiliki sikap yang tertentu. Selanjutnya, ia akan mempunyai sikap seperti itu karena memiliki pengetahuan dan pengalaman yang seperti itu.
Kesimpulan Bloom di atas tentu saja berlaku juga bagi pengusaha-pengusaha kecil. Seseorang akan memiliki kepribadian dan perilaku kewirausahaan apabila ia memiliki sikap mental kewirausahaan, dan ia akan memiliki sikap dan mental kewirausahaan apabila mengetahui hakikat wirausaha.
Pengetahuan kewirausahaan bisa berasal dari pendidikan baik formal maupun non-formal atau dari pengalaman termasuk lingkungan tempat ia berada, misalnya pola asuhan keluarga di masa kecil, hubungan keluarga dan pengalaman praktis. Seperti dikemukan oleh David C McClelland (1961:337) bahwa an Achievment kewirausahaan dipengaruhi oleh environment, child-rearing practices, parent chil-interaction, values religion, dan social class. Menurutnya, pendidikan luar negeri (foreign education) dan pendidikan pengalaman (experience education) berpengaruh pada motif prestasi.
Hasil penelitian secara empiris telah membenarkan argumen teoritis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul F. Kaplan & Cynthia Hsien Huang (1973) terhadap usaha kecil di Filipina, mengungkapkan bahwa ikatan keluarga dalam perusahaan, pendidikan, dan kemodernan seseorang terbukti berhubungan secara meyakinkan dengan orientasi berprestasi (Yuyun Wirasasmita, 1982:62).
Banyak para ahli yang berpendapat bahwa kewirausahaan merupakan bawaan atau bakat dan dapat dipelajari. Menurut beberapa ahli, ada tiga pendapat yang sampai sekarang masih relevan untuk diperhatikan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa sifat kewirausahan adalah murni bersifat bawaan, sehingga kesimpulannya wirausaha tidak dapat di pelajari. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kewirausahaan adalah suatu proses yang dapat dipelajari sehingga dapat diajarkan. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa kewirausahaan merupakan bawaan dan dapat dikembangkan melalui proses belajar (Yuyun Wirasasmita 1993 : 4; Ahmad Sanusi, 1995). Dalam hal kedua dan ketiga inilah pendidikan kewirausahaan relevan bagi mereka yang berminat mengembangkannya. Fungsi pendidikan kewirausahaan adalah sebagai pembuka agar sifat yang masih terpendam dapat berkembang dan memperoleh keterampilan-keterampilan manajerial yang diperlukan untuk pengembangan usaha.
Beberapa ahli telah meyakini bahwa pendidikan dan pengalaman mempengaruhi sikap dan kepribadian seseorang. Sikap menimbulkan dorongan (motivasi) yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku. Dengan demikian seseorang akan mempunyai perilaku kewirausahaan apabila memiliki motif berprestasi. Motif tersebut dipengaruhi oleh sikap kewirausahaan. Sikap kewirausahaan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Unsur kognitif yang tercermin dalam pengetahuan dan pengalaman usaha, mempengaruhi unsur afektif yang tercermin dalam bentuk sikap dan kepribadian serta unsur psikomotorik yang tercermin dalam bentuk perilaku dan semuanya membentuk jiwa kewirausahaan. Sikap dan kepribadian inilah dalam bisnis disebut sikap mental kewirausahaan.
Selain pendidikan, yang tidak kalah pentingnya adalah pengalaman. Menurut A. Kuriloff dan John M. Memphill, Jr and Douglas Cloud (1983 :8 ) bahwa kebanyakan perusahaan yang baru mengalami kegagalan disebabkan pengusahanya tidak memiliki keseimbangan dalam pengalaman berusaha. Ada empat kemampuan utama yang diperlukan untuk mencapai pengalaman yang seimbang, diantaranya meliputi :
1. Technical Competence, memiliki keterampilan know-how bentuk usaha yang dipilih
2. Marketing Competence, yaitu pengusaha harus mampu mengetahui bagaimana cara menemukan pasar yang cocok, mengidentifikasi pelanggan, dan bagaimana cara menjamin kelangsungn usaha.
3. Financial Competence, yaitu memiliki kemampuan bagaimana cara mendapatkan dan menggunakan uang.
4. Human Relation Competence, yaitu kemampuan dalam mengembangkan hubungan baik antar SDM didalam dan diluar perusahaan
Bentuk lain dari latar belakang profesional kewirausahaan diantaranya memiliki keterampilan manajerial. Robert Katz yang dikutip oleh Stephen P. Robin (1993) mengemukakan tentang management skill, yaitu kemampuan dalam bidang technical, human and conceptual. Technical skill adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan kecakapan khusus. Human Skill adalah kemampuan untuk bekerja, memahami dan untuk memotivasi orang-orang baik sebagai individu maupun kelompok. Selanjutnya, conceptual Skill merupakan mental ability untuk menganalisis dan mendiagnosis situasi yang kompleks. Ability itu sendiri adalah kapasitas seseorang (individual) untuk melakukan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
Dalam perusahaan kecil, setiap wirausaha harus dapat melakukan fungsi-fungsi manajemen seperti membuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian usaha. Wirausaha ialah “Small Business Manager”
Modernitas dan Kewirausahaan
Seperti telah dikemukakan, bahwa kebanyakan perusahaan kecil menganut sistem manajemen tradisional dengan ciri utama pengelolaan secara sederhana dan tanpa perencanaan yang sistematis (Hasil penelitian Unpad, 1976). Hal ini menunjukkan masih kurangnya wirausaha-wirausaha yang berwawasan modern.
Alex Inkeles dan David H. Smith (1974 : 19 –24 ) dalam bukunya “Becoming Modern”, adalah ahli yang mengemukakan bahwa kualitas manusia modern tercermin pada orang yang berpartisipasi di dalam produksi modern yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap, nilai dan tingkah laku dalam kehidupan sosial. Ciri-cirinya meliputi keterbukaan terhadap pengalaman baru, selalu membaca perubahan sosial, lebih realistis terhadap fakta dan pendapat, berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang bukan pada masa lalu, berencana, percaya diri, memiliki aspirasi, pendidikan dan keahlian, respek, hati-hati dan memahami produksi. Pengusaha-pengusaha yang terbuka terhadap ide-ide baru inilah merupakan pengusaha yang inovatif dan kreatif yang ditemukan dalam jiwa kewirausahaan.
Kinerja dan Daya Hidup Perusahaan Kecil
Untuk merumuskan kinerja dan daya hidup perusahaan kecil terlebih dahulu akan dikemukakan konsep usaha kecil. Para ahli masih mendefinisikannya berbeda-beda tergantung pada fokus permasalahannya masing-masing. Karena belum ditemukan ukuran yang paling standar dan penggunaan ukuran tersebut sangat tergantung pada kepentingan lembaga atau instansi tertentu, maka banyak terminologi yang digunakan untuk mengukur usaha kecil. Di Indonesia sendiri belum ada batasan atau kriteria yang baku mengenai usaha kecil. Berbagai instansi menggunakan batasan dan kriteria menurut fokus permasalahan yang dituju. Ada yang menggunakan nilai asset dan volume usaha sebagai batasan, ada yang menggunakan kriteria tenaga kerja, dan ada yang mendefinisikannya berdasarkan nilai investasi ( A Sidik Prawiranegara, 1993). Akan tetapi, secara umum dapat ditemukan ciri-ciri kuantitatif dan kualitatif. Biro pusat statistik (1988) mendefinisikan usaha kecil dengan ukuran tenaga kerja 5-19 orang yang terdiri (Termasuk) pekerja kasar yang dibayar, pekerja pemilik dan pekerja keluarga yang tidak dibayar. Perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja < 5 orang diklasifikasikan sebagai industri rumah tangga (Syahrudin, 1998 : 4) . Berbeda dengan pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Stanley dan Morse, bahwa industri yang menyerap tenaga kerja 1 – 9 orang, termasuk industri kerajinan rumah tangga. Industri kecil menyerap 10-49 orang, industri berukuran sedang menyerap 50-99 orang dan industri besar menyerap 100 orang lebih (Irsan Azhari, 1991 : 13).
Departemen perindustrian tahun 1997, menggunakan kriteria nilai modal dan nilai investasi tenaga kerja yaitu : Nilai modal untuk mesin-mesin dan peralatan tidak lebih dari 600 juta rupiah tergolong usaha menengah kecil.
Adapun ciri-ciri kualitatif yang melekat pada usaha kecil meliputi manajemen independen karena pemilik adalah sekaligus pengelola usaha, modal terbatas biasanya sangat tergantung pada sumber pemodalan internal, wilayah kerjanya biasanya bersifat lokal, posisi tawar menawar usaha relatif lemah, baik terhadap mitra usaha maupun pesaingnya. Memanfaatkan tekhnologi tradisional, bersifat turun temurun, derajat diversifikasi usaha rendah, sebagian memiliki legal status, dan sebagian tidak (Sidik Prawiranegara, 1993).
Baik ciri-ciri kualitatif maupun kuantitatif seperti di atas merujuk pada sifat dan kelemahan usaha kecil yang menjadikan perusahaan tersebut terjerat dalam lingkaran keterbelakangan yang tak berujung pangkal. (Vicious Cycle of Poverty). Kemampuan usaha kecil yang rendah yang tercermin dalam hasil produksi, cara berproduksi, skala usaha, volume usaha, dan hasil usaha yang rendah lebih disebabkan oleh mutu bahan baku yang rendah, pendidikan keahlian yang rendah dan peralatan yang sederhana. Akibatnya, keuntungan juga tetap kecil, jika keuntungan kecil, maka tidak ada investasi baru dan tidak ada jaminan untuk memperoleh modal baru. Jika tidak ada investasi penanaman modal baru, maka pendidikan tetap rendah, peralatan sederhana, metode produksi rendah dan hasil produksi sedikit serta kurang berkualitas.
Jika lingkaran keterbelakangan di atas sebagai penyebab lemahnya usaha kecil, maka untuk mengatasi lingkaran keterbelakangan tersebut, sangat tergantung pada wirausaha-wirausahanya. Hal ini disebabkan peranan wirausaha itu sendiri sebagai pengelola (manajer) dan atau pemilik (Owner). Para wirausaha dalam usaha kecil memiliki peran strategis karena wirausahalah yang dapat meningkatkan kemampuan dan perkembangan usaha kecil. Menurut Dun dan Broadstreet Business Credit (1989 : 1-19) para wirausaha dituntut untuk memiliki pengetahuan dan Competency tertentu yang meliputi :
“Knowing your business, knowing the basic of business management, having the proper attitudes, having adequate capital, managing finance effectively, managing time efficiently, managing people, satisfying customers by providing high quality, knowing how to compete, coping with regulations and paperwork”
Pandangan Dun dan Broadstreet Business Credit di atas secara jelas memberikan gambaran tentang pentingnya wirausaha pada usaha kecil, untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan ( Competency ) usaha. Selain itu, sikap yang sempurna terhadap usaha, modal dan mengelola uang dan waktu secara efektif dan efisien dan berusaha memberi kepuasan kepada konsumen dengan kualitas yang paling baik, mengenal cara bersaing merupakan prasyarat penting bagi pengusaha kecil. Menurut Dun Broadstreet Business (1991 : 1-2) pengusaha kecil penting untuk mengetahui prinsip-prinsip accounting dan pembukuan, jadwal produksi, manajemen personalia, keuangan, marketing dan perencanaan usaha.
Ahli ekonomi lain seperti Allan Filley dan Robert W Price (1991 : 1-2) mengemukakan tentang beberapa klasifikasi strategi usaha kecil untuk mencapai keberhasilan tertentu yang meliputi :
1. Craft ; Firms are prepared by people who are technical specialist
2. Promotion ; Promotion are typically dominated by their leader and are designed to exploit some kind of inovative advantages.
3. Administrative : Administrative firm have formal management and are built arround necessary business function.
Studi-studi di atas telah menempatkan perilaku kewirausahaan sebagai unsur penting dalam mempertahankan dan meningkatkan kinerja perusahaan, khususnya perusahaan kecil. Tinggi atau rendahnya keberhasilan dan perkembangan usaha kecil akan sangat tergantung pada kinerja usaha kecil itu sendiri. Baik kinerja perusahaan sebagai proses yang tampak dalam menjalankan fungsi-fungsinya yaitu sebagai pemasok, pemroses, dan pemasar, maupun kinerja sebagai hasil yang tampak dalam besaran hasil operasi usaha seperti volume usaha, skala usaha, permodalan dan keuntungan yang diperoleh atau kemampulabaan.
0 comments:
Post a Comment