Definisi mengenai usaha mikro di Indonesia beranekaragam. Beberapa lembaga bahkan undang-undang di Indonesia memberikan definisi sendiri mengenai usaha mikro. Biasanya usaha mikro didefinisikan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan omzet penjualan. Menurut undang-undang nomor 20 Tahun 2008 pasal 1 mengenai UMKM, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/ atau badan usahaperorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undangundang ini. Kriteria Usaha Mikro menurut undang- undang nomor 20 tahun 2008 pasal 6 adalah sebagai berikut.
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMK berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha Mikro (UM) merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak bibayar. Usaha Kecil (UK) merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang.
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha Mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp.50.000.000,00. Ciri-ciri usaha mikro:
1. Jenis barang/ komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha; Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
4. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
5. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank;
6. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.
Usaha mikro merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, usaha mikro adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan badan usaha milik pemerintah.
Usaha Kecil adalah Aset lebih kecil dari Rp 200 Juta diluar tanah dan bangunan. Omzet tahunan lebih kecil dari Rp 1 milyar. Dimiliki oleh orang Indonesia independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah, besar. Boleh berbadan hukum, boleh tidak (Undang-Undang No.9/1995 tentang Usaha Kecil). Berbagai definisi mengenai usaha mikro terangkum melalui tabel 2 berikut ini.
Usaha mikro adalah usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau dekat miskin, bersifat usaha keluarga, menggunakan sumberdaya lokal, menerapkan teknologi sederhana, dan mudah masuk industri.
Pekerja < 5 orang
Pekerja < 10 orang
Bank Dunia
Aset < $ 3 juta
Omset < $ 3 juta per tahun
Kep.MenKeu No.40/KMK.06/2003
Omset ≤ Rp 100.000.000 per tahun
Pinjaman ke Bank ≤ Rp 50.000.000
Kementerian Negara Koperasi dan UMKM
Usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta.
Sumber: Dari berbagai sumber
Peran usaha mikro dalam perekonomian Indonesia (Urata dalam Sulistyastuti, 2004) adalah:
1. Usaha mikro merupakan pemain utama dalam kegiatan ekonomi Indonesia.
2. Penyediaan kesempatan kerja.
3. Pemain penting dalam pengembangan ekonomi lokal dan pengembangan masyarakat.
4. Penciptaan pasar dan inovasi melalui fleksibilitas dan sensitivitas atas keterkaitan dinamis antar kegiatan perusahaan.
5. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor non-migas.
Eksistensi UMKM dalam Pembangunan Nasional memang cukup dominan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh berbagai data empiris berikut ini Setyobudi (2007).
1. Jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMK adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha.
2. Potensi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMK dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMK menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja.
3. Kontribusi UMK dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.
Berikut ini adalah berbagai permasalahan yang secara umum menjadi kendala bagi usaha kecil (Marbun, 1993).
1. Tidak atau jarang adanya perencanaan yang tertulis. Usaha kecil cenderung kurang memiliki perencanaan sehingga tidak dapat memusatkan segala tenaga dan daya untuk mencapai sasaran yang paling menguntungkan. Kurangnya perencanaan juga menyebabkan usaha kecil kurang mampu membuat sasaran dan urutan prioritas. Kondisi ini menyebabkan pengusaha usaha mikro tidak dapat mengukur apakah usahanya berhasil atau setengah gagal atau gagal.
2. Tidak berorientasi ke depan, melainkan hari kemarin atau hari ini. Orientasi usaha kecil adalah barang atau usaha yang laku kemarin atau saat ini, didukung dengan kurangnya pengalaman, kurang bimbingan, dan kurang pendidikan, menyebabkan usaha kecil tidak bisa atau kuarang dapat membaca kecenderungan masa depan, apalagi untuk lima tahun mendatang.
3. Tidak memiliki pendidikan yang relevan.Orang-orang yang terjun di usaha kecil kebanyakan tidak memiliki pendidikan yang relevan, ditambah dengan keterbatasan waktu dan bisa menyebabkan mereka cenderung kurang memiliki kemampuan yang memadai yang mendukung usahanya.
4. Tidak ada pembukuan yang teratur dan tanpa neraca laba-rugi.Akibat tanpa perencanaan tertulis dan kurang pendidikan serta karena tidak ada paksaan pemerintah (pajak), umumnya usaha kecil tidak memiliki dan tidak mempraktekkan pembukuan yang teratur. Paling banter hanya mempunyai catatan tercecer berapa yang laku hari ini, juga tidak jelas uang pribadi atau uang perusahaan. Tidak jelas berapa seharusnya “gaji” pemilik setiap bulan. Kebutuhan akan pembukuan dianggap hanya membuang-buang waktu dan biaya. Kondisi ini akhirnya menyebabkan setiap akhir tahun atau tahun buku tidak dapat mengetahui berapa besarnya laba atau rugi yang diperoleh tahun tersebut.
5. Tidak mempunyai atau tidak mengadakan analisis pasar yang up to date atau tepat waktu dan mutakhir. Tidak adanya perencanaan dan pendidikan yang relevan ditambah lagi tanpa pembukuan yang teratur, umumnya usaha mikro juga tidak memiliki analisis pasar yang relevan. Pengusaha usaha mikro hanya berdasarkan perkiraan dan bertumpu pada pengalaman hari kemarin. Pengusaha tersebut juga tidak mengetahui secara pasti berapa besar potensi pasar dan pemasaran dilakukan berdasarkan “feeling” dan pengamatan sepintas. Akibatnya pengusaha usaha mikro terkadang tidak memiliki cukup jumlah barang yang diperlukan pembeli, atau mempunyai stok yang berlebih bagi barang-barang yang kurang laku atau barang yang laku kemarin.
6. Kurang spesialisasi atau diversifikasi berencana.Kelemahan perencanaan dan tidak adanya peramalan (forecasting) yang relevan menjadikan posisi pengusaha usaha mikro terserah “nasib”. Ketidakadaan analisis pasar menyebabkan hambatan spesialisasi atau diversivikasi yang dalam beberapa hal merupakan keharusan. Akibat bobot orientasi pada hari kemarin dan hari ini menjadikan pengusaha kecil mengerjakan atau mengusahakan apa yang laku dijual atau berhasil dibuat orang lain. Akibatnya, dapat diramalkan, hampir semua usaha kecil di daerah atau lokasi tertentu menjual barang atau membuat produk yang sama, baik ukuran, warna atau pun rasa.
7. Jarang mengadakan pembaharuan (inovasi). Beberapa usha kecil cenderung tidak mengalami perubahan atau pembaharuan setelah sekian tahun atau, setelah berubah generasi, tetap membuat barang yang sama dan peralatannya menua sejalan dengan umur pemiliknya. Andaipun ada pembaharuan, hal ini cenderung meniru dan bukan hasil analisis pasar dan rencana pembaharuan yang konsekuen.
8. Tidak ada atau jarang terjadi pengkaderan. Kebanyakan pengusaha usaha mikro segan menurunkan ilmu kepada pembantupembantunya, karena takut disaingi, kurang percaya, atau tidak ada kesadaran akan pengkaderan tersebut. Adapun pengkaderan anak kandung hampir tidak pernah atau jarang terjadi karena pandangan agar anak sukses melalui jenjang pendidikan yang tinggi dan bukan menjadi seperti dirinya.
9. Cepat puas. Tidak adanya perencanaan dan tanpa peramalan biasanya pengusaha usaha mikro cepat puas dan kurang ambisius. Usaha kecilnya setelah berusaha 10 atau 20 tahun bidang usahanya bukannya semakin besar atau bertambah bahkan ikut menua sesuai umur pemiliknya. Hal ini mungkin erat kaitannya dengan pendidikan yang tidak relevan dan tanpa pengalaman yang menantang.
10. Keluarga sentris. Pada usaha mikro, bisnis dan keluarga sering kabur atau tidak jelas. Keluarga sering campur tangan dalam urusan perusahaan sehingga membingungkan pelanggan. Pengusaha usaha mikro kurang mampu mendelegasikan hak dan kewajibannya yang luas kepada pembantu yang bukan anggota keluarga.
11. Kurang percaya pada ilmu modern. Bagi kebanyakan pengusaha usaha mikro beranggapan bahwa belajar lagi atau mempelajari ilmu baru merupakan pemborosan atau tidak perlu. Sebagian diantara pengusaha usaha mikro begitu percaya diri dan menutup diri. Pengusaha usaha mikro menafsirkan ilmu modern sebagai akal-akalan dan sekedar cari uang bagi pengajar.
12. Kurang pengetahuan hukum dan peraturan. Pendidikan yang terbatas seringkali membuat pengetahuan pengusaha usaha mikro mengenai hukum dan peraturan terbatas. Hal ini yang menyebabkan mereka meniru produk yang dilindungi hak paten atau tidak paham dengan aneka pajak yang dikenakan pada produknya.
Dibalik peran besar UMKM dalam mendukung Pembangunan Nasional, UMKM dihadapkan berbagai macam persoalan yang cukup serius. Permasalahan tersebut dapat dilihat dua aspek, yaitu persoalan internal yang berasal dari internal UMKM maupun persoalan eksternal yang berasal dari luar UMKM.
a. Faktor Internal
Berikut ini adalah beberapa persoalan internal yang dihadapi oleh UMKM.
1. Kurangnya permodalan usaha. Masalah modal memang menjadi momok bagi UMKM dalam mengembangkan usahanya. Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya usaha mikro, kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan pada modal usaha dari di pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal usaha dari pihak lain (bank atau lembaga keuangan lainnya) sulit untuk diperoleh, karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank sulit untuk dipenuhi UMKM.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Sebagian besar usaha mikro, kecil dan menengah merupakan usaha keluarga yang turun menurun dan tumbuh secara tradisional. Keterbatasan sumber daya manusia baik itu dari pendidikan formal maupun pengetahuan dan ketrampilannya sangat berpengaruh pada kemampuan UMKM untuk mengembangkan usahanya. Persoalan ini nantinya akan berimbas pada sulitnya UMKM untuk menyesuaikan perkembangan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan.
3. Lemahnya jaringan dan kemampuan penetrasi pasar. Sebagian besar UMKM merupakan unit usaha keluarga yang mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid dan mapan serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau pasar internasional.
b. Faktor Eksternal
1. Iklim usaha yang belum sepenuhnya kondusif
Kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah belum sepenuhnya membuat iklim usaha menjadi kondusif, meskiput dari tahun ke tahun terus diperbaiki. Hal ini bisa dilihat adanya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar.
2. Keterbatasan sarana dan prasarana
Terbatasnya akses terhadap informasi terkait kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan sarana dan prasarana yang dimiliki tidak bisa berkembang mengikuti kemajuan usaha yang diharapkan. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya total factor productivity dan efisiensi di dalam proses produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat. Keterbatasan teknologi, khususnya usaha-usaha rumah tangga (mikro) disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin-mesin baru atau menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai perkembangan teknologi atau mesin-mesin dan alat-alat produksi baru dan keterbatasan SDM yang dapat mengoprasikan mesin-mesin baru atau melakukan inovasi-inovasi dalam produk maupun proses produksi.
3. Dampak otonomi daerah
Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan membuat kebijakan untuk masyarakat setempat. Sistem disentralisasi ini tentunya akan banyak mempengaruhi para pelaku bisnis kecil dan menengah. Jika kebijakan ini tidak dibuat untuk mendukung pelaku bisnis kecil maka akan menurunkan daya saing usaha mikro, kecil dan menengah.
4. Dampak pasar bebas
Globalisasi dan pasar bebas telah menimbulkan efek ngetif yang luar biasa bagi industri menengah ke bawah di Indonesia, khususnya UMKM. Masuknya produk-produk dari China dengan harga yang relatif murah telah melemahkan posisi UMKM di pasar lokal maupun nasional.
5. Terbatasnya akses pasar
Salah satu aspek terkait dengan masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh UMKM adalah tekanan-tekanan persaingan, baik di pasar domestik dari produk-produk serupa buatan industri besar dan impor, maupun di pasar ekspor.
Pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi
perkembangan usaha mikro dan kecil. Hasil studi lintas negara yang dilakukan James dan Akrasanee (dikutip Tambunan, 2002) di sejumlah negara ASEAN menunjukkan bahwa termasuk growth constrains yang dihadapi oleh banyak pengusaha kecil menengah (kecuali Singapura). Salah satu aspek yang terkait dengan masalah pemasaran adalah tekanan-tekanan persaingan, baik pasar domestik dari produk serupa buatan usaha besar dan impor, maupun pasar ekspor. Selain itu, terbatasnya informasi banyak usaha kecil menengah, khususnya yang kekurangan modal dan SDM serta berlokasi di daerah-daerah pedalaman yang relatif terisolir dari pusat informasi, komunikasi, dan
transportasi, juga mengalami kesulitan untuk memenuhi standar-standar
internasional yang terkait dengan produksi dan perdagangan.
6. Keterbatasan SDM
Keterbatasan SDM juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak usaha mikro di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek enterpreunership, manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntasi, data processing, teknik pemasaran, dan penelitian pasar. Keterbatasan ini menghambat usaha mikro di Indonesia untuk dapat bersaing di pasar domestik maupun pasar internasional.
7. Keterbatasan finansial
Usaha mikro, khususnya di Indonesia menghadapai dua masalah utama dalam aspek finansial: mobilisasi modal awal (star-up capital) dan akses ke modal kerja, seperti finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi pertumbuhan output jangka panjang. Kendala ini disebabkan karena lokasi bank yang terlalu jauh bagi banyak pengusaha yang tinggal di daerah yang relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu bertele-tele, dan kurang informasi mengenai skim-skim perkreditan yang ada dan prosedur.
Menurut Lestari (2007) untuk memenuhi kebutuhan masalah permodalan, UMKM paling tidak menghadapi 4 masalah, yaitu:
a) Masih rendahnya atau terbatasnya akses usaha mikro terhadap berbagai informasi, layanan, fasilitas keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal, baik bank maupun non bank misalnya dan BUMN, ventura.
b) Prosedur dan persyaratan perbankan yang terlalu rumit sehingga pinjaman yang diperoleh tidak sesuai kebutuhan baik dalam hal jumlah maupun waktu, kebanyakan perbankan masih menempatkan agunan material sebagai salah satu persyaratan dan cenderung mengesampingkan kelayakan usaha.
c) Tingkat bunga yang dibebankan dirasa masih tinggi.
d) Kurangnya pembinaan, khususnya dalam managemen keuangan, seperti perencanaan keuangan, penyusunan proposal dan lain sebagainya.
Kurangnya minat atau keengganan dari pihak perbankan komersial untuk menyalurkan kredit kepada UMKM karena anggapan kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangat tidak bankable. UMKM seringkali menghadapi kesulitan dalam hal memenuhi persyaratan jaminan perbankan yang disebabkan kecilnya usaha mereka. Pengusaha UMKM cenderung tidak memiliki tanah atau sumber daya penting lainnya yang melindungi aset keuangan mereka. Ketika perbankan menerapkan peminjaman yang didasarkan pada arus kas, pemerintah harus menciptakan lingkungan yang dapat memunculkan perusahaan sewa beli (leasing) maupun anjak piutang (factoring), yang dapat membantu usaha mikro untuk mendapatkan akses modal tanpa harus ada sejumlah jaminan pinjaman yang besar.
2. Kredit atau Pembiayaan
Definisi kredit atau pembiayaan itu sendiri memiliki beberapa dimensi yang beranega ragam. Menurut Muljono (1993), kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang disepakati.
Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di Indonesia, yaitu menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1998 dalam pasal 1; kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut jenisnya kredit dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: menurut jenis kredit yang dibiayai, menurut resiko pembiayaan, dan menurut sektor ekonomi.
a) Menurut Jenis Kredit yang Dibiayai
1) Kredit Modal Kerja
Yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya untuk memenuhi modal kerjanya. Kriteria dari modal kerja yaitu kebutuhan modal yang habis dalam satu putaran usaha, hal ini kalau dilihat dalam neraca suatu perusahaan akan berupa uang kas bank ditambah dengan piutang dagang dengan persediaan baik persediaan barang jadi, persediaan bahan dalam proses, persediaan bahan baku. Apabila dibicarakan modal kerja bersih maka perlu dikurangi lagi dengan current liabilities-nya.
2) Kredit Investasi
Yaitu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan untuk pembelian barang-barang modal yaitu tidak habis dalam satu putaran usaha, maksudnya proses dari pengeluaran uang kas dan kembali menjadi uang kas tersebut akan memakan jangka waktu yang cukup panjang setelah melalui beberapa kali perputaran (Mulyono, 1993).
Misalnya seorang debitur mendapatkan kredit untuk mendirikan pabrik, atau barang modal lainnya. Uang kas yang dikeluarkan untuk membeli barang – barang modal tersebut akan baru dapat terhimpun kembali setelah melalui proses depresiasi atau amortisasinya sesuai jangka waktu ekonomisnya (economical usefull life) yang mana dana depresiasi yang berupa out of pocket cost tersebut dikumpulkan. Jadi ada dua ciri pokok dari kredit investasi yaitu; barang yang akan dibeli merupakan barang – barang modal dan jangka waktunya sukup lama.
3) Kredit Konsumsi
Bentuk kredit yang diberikan kepada perorangan ini bukan dalam rangka untuk mendapatkan laba tetapi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi.
b) Menurut Risiko Pembiayaan
1) Kredit dari dana bank bersangkutan
Dasar dari kredit ini diberikan atas dasar kemampuan dari bank yang bersangkutan di dalam mengumpulkan dana dari masyarakat yang menjadi nasabahnya baik berupa giro, deposito maupun modal sendiri dan pinjaman – pinjaman lainnya.
2) Kredit dengan dana likuiditas Bank Indonesia
Sesuai dengan fungsinya sebagai agent of development khususnya pada bank – bank pemerintah, maka dalam pengembangan sektor – sektor perekonomian tertentu bank sentral telah memberikan berbagai fasilitas penyediaan “Dana Likuiditas”.
3) Kredit Kelolaan
Kredit ini diperoleh Pemerintah Indonesia dari Luar Negeri untuk membantu berbagai pembiayaan pembangunan proyek – proyek swasta pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk bantuan kredit yang disalurkan melalui sistem perbankan.
c) Menurut Sektor Ekonomi
Untuk kepentingan perencanaan pengembangan kegiatan perekonomian maka pembagian sektor – sektor ekonomi mempunyai arti yang sangat penting. Penguasa moneter dan Bank Sentral mempunyai kepentingan utama dalam pembagian kredit menurut sektoral, sebagai alat perencanaan dan pengendalian kebijaksanaan – kebijaksanaan yang diambilnya. Secara garis besar pembagian kredit menurut sektor ekonomi:
1) Sektor pertanian, perkebunan dan sarana pertanian
2) Sektor pertambangan
3) Sektor perindustrian
4) Sektor listrik, gas dan air
5) Sektor konstruksi
6) Sektor perdagangan, restoran dan hotel
7) Sektor pengangkatan, pergudangan, dan komunikasi
8) Sektor jasa – jasa dunia usaha
9) Sektor jasa – jasa sosial atau masyarakat
0 comments:
Post a Comment