Compare hotel prices and find the best deal - HotelsCombined.com

Sunday, April 13, 2014

Apa Yang Menjadi Tanggung Jawab Pendidikan

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN

Oleh S. Bekti Istiyanto, S.Sos

Saya termasuk seorang bapak yang secara jujur agak kaget ketika pada tahun ini anak saya yang sulung sudah harus sekolah. Sebenarnya, bukan tanpa persiapan tapi perasaan bahwa anak saya ternyata sudah berangkat sekolah secara formal dan ini berarti anak saya sudah menjadi besar telah berlangsung.

Banyak kekagetan yang sering kali tidak kita rasakan. Seperti saya, padahal persiapan-persiapan telah saya lakukan. Dengan mencoba menitipkan pada guru-guru TPA di masjid kampung, menceritakan betapa enaknya bersekolah dan punya banyak teman, mengajak ke sekolah dimana anak saya nantinya akan sekolah di sana agar dia tidak merasa asing dengan lingkungan barunya, membeli dan membacakan buku yang sesuai bahkan mempersiapkan segala kebutuhan yang bersifat materi seperti tas sekolah, tempat minuman dan makanan, buku-buku dan alat tulisnya serta sepatu sudah saya dan istri lakukan. Ternyata ‘rasa kaget’ saya bahwa anak saya ternyata sudah besar dan mau sekolah yang akhirnya waktunya akan sedikit tersita untuk urusan sekolah dan kawan-kawannya serta pendidikan yang tidak lagi seratus persen dibawah kendali saya dan istri tetaplah menjadi kekagetan tersendiri.

Mungkin bukan kaget tapi perasaan was-was yang lebih menyeruak ketika terbayang anak saya melambaikan tangannya dan mengucapkan salam kepada saya. Apakah dia sudah siap, begitulah yang selalu saya pertanyakan. Atau justru sekolah merupakan sebuah ajang pemaksaan keinginan saya dan istri untuk menjadikan anak ‘super’ dan ‘ideal’ guna menyongsong hari depan tanpa memberikan kesempatan berpikir kepada anak, dan memungkinkan dia mengajukan pertanyaan “Apakah tidak ada cara lain yang dapat menjadikan saya ‘super’ dan ‘ideal’ selain sekolah?”

Kekhawatiran saya mungkin Anda nilai sangat tidak beralasan. “Sudah persiapan sedemikian rupa koq malah membebani dengan pikiran seperti itu. Yang apa adanya, dijalani saja”. Mungkin Anda benar atau juga mungkin saya yang benar.

Sebenarnya saya mungkin akan legowo ikhlas dengan sangat melepas keberangkatan anak memulai perjuangan hidupnya di dunia kompetisi seperti sekarang ini, ‘seandainya’ pendidikan yang kebanyakan ada di tengah masyarakat tidaklah menjadikan anak sekadar robot-robot pendidikan. Akibat sistem pendidikan yang semrawut dan seolah-olah tidak berdasar kepada sebuah sistem pendidikan yang baku. Apalagi ada ungkapan ganti menteri pendidikan berarti ganti kebijaksanaan.

Banyak kita rasakan pendidikan yang terjadi kepada anak-anak kita justru menulikan kepekaan mereka atas lingkungan sosial sekitarnya, atau membutakan nurani mereka akan nilai-nilai kemanusiaan. Pembedaan kelas pendidikan yang ada menjadikan anak tumbuh dalam dunia yang berbeda dan banyak koreksi lain sebenarnya yang dapat kita berikan atas pendidikan yang ada sekarang ini.

Saya sadar kita mesti tidak boleh berlepas diri dan menyalahkan pihak lain tapi justru harus menemukan cara yang bisa memberikan minimal satu solusi. Bagaimanapun pendidikan adalah wilayah tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kitalah yang memberikan dasar dan pegangan buat anak menapaki masa depan. Malah semestinya saat kita menjadi orang tua kitalah yang mesti ‘sekolah’ lagi bagaimana menjadikan generasi sesudah kita lebih baik.

Seperti contoh di Jepang, seorang ibu rela tidak bekerja sampai anak berusia sekitar 10 tahun dan siap dengan kemandirian, walaupun dia punya kemampuan untuk bekerja. Tapi justru terlibat aktif dalam pendidikan anak di sekolah, semacam POMG yang disana banyak mendukung program pendidikan yang ada di sekolah. Bahkan ada banyak bidang yang bisa mereka garap dengan serius. Dibanding dengan kita yang sering kali menyerahkan segalanya kepada guru-guru di sekolah, pokoknya tanggung jawab pendidikan ada di pundak guru. Kalaupun ada pertemuan POMG yang dibahas adalah kenaikan bantuan untuk sekolah, uang gedung atau kenaikan SPP. Sehingga akhirnya ketika muncul persoalan pada anak, orang tua cenderung berlepas diri dan selalu menyalahkan pihak sekolah khususnya guru yang dianggap tidak becus mendidik.

Kita mesti arif bahwa guru pun sama dengan kita yang juga punya banyak persoalan yang harus diatasi, dan tidak semestinya kita melepaskan tanggung jawab pendidikan kita kepada para guru di sekolah begitu saja. Di akherat kelak toh yang akan ditanya adalah kita sebagai orang tua bukan gurunya. Pendidikan bukanlah sekadar jual beli, bahwa kalau kita sudah membayar biaya sekolah yang tinggi pasti akan didapat hasil yang tinggi pula. Variabelnya tidaklah sesederhana itu.

Untuk itu, di tengah kondisi yang serba sulit kita dituntut untuk bersikap adil. Adil untuk menyadari bahwa pendidikan adalah tugas kita dan ini harus diemban dengan seksama. Adil untuk tidak membebani pelaku pendidikan bekerja di luar kemampuannya. Adil juga terhadap anak untuk berkreasi sesuai bakat dan potensi yang dimiliki. Adil untuk lingkungan yang secara tidak sadar menjadikan pendidikan kita tidak tambah maju dengan memberikan pemahaman bagaimana semestinya sebuah pendidikan terhadap anak dilakukan. Harus adil untuk semua.

Dengan pilihan di atas saya memberanikan diri untuk melepas anak saya ke medan pendidikan. Tentu saja, saya pun tidak asal sepakat dengan kondisi yang ada. Saya telah memilih sekolah yang saya nilai plus dibanding yang lain, baik sistem pendidikan, fasilitas, kurikulum, lingkungan sekitar sekolah, muatan agamanya, hasil lulusan yang bisa dilihat, juga tidak lupa para gurunya, karena guru tidak hanya di sekolah tapi juga di luar sekolah pun tetaplah seorang guru. Tanpa perhitungan seperti ini agak berat bagi saya melepas anak sulung saya, yang kebetulan perempuan, berada dalam pendidikan seperti sekarang ini. Belum terbayang bagaimana tetangga saya yang mengeluh betapa sulitnya mendidik anak yang mengalami masa puber dan beralih baik secara fisik, sosial juga psikologisnya. Saya hanya berharap kekhawatiran saya ini menjadi sirna.

0 comments:

Post a Comment