Compare hotel prices and find the best deal - HotelsCombined.com

Sunday, April 20, 2014

Peran Civil Society Organization

Peran Civil Society Organization dalam Empowerment Perempuan Korea

Sekarang ini, semakin banyak isu-isu baru dan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dan menarik perhatian masyarakat dunia. Isu-isu internasional yang sekarang ini dihadapi tidaklah lagi hanya dalam lingkup keamanan, ekonomi dan juga negara saja. Berbagai macam isu seperti masalah lingkungan, masyarakat muncul ke permukaan dan menjadi sebuah isu baru dalam hubungan internasional yang semakin berhubungan dan sudah mengenai istilah tanpa batas (borderless). Berbagai macam isu yang terjadi dalam suatu negara pun sekarang ini dapat menjadi sebuah isu yang saling berhubungan dengan isu lain dan juga negara lainnya atau dapat dikatakan dengan globalisasi. 

Globalisasi adalah fenomena yang cenderung dipahami sebagai antitesa dari pemisahan-pemisahan dunia ke dalam komunitas-komunitas politik berbasis negara-bangsa. Dengan berkembangnya globalisasi, kebijakan-kebijakan yang diambil suatu negara dipengaruhi oleh aktor-aktor non-negara (non-state actor) seperti transnational corporations (TNCs), badan-badan internasional (WTO, IMF) dan aktor-aktor non negara lainnya. CSO dan juga civil society dalam hal ini menjadi memiliki peran dalam global governance dan juga pembuatan sebuah kebijakan. Civil society ataupun yang dapat juga disebut sebagai masyarakat sipil dalam hal ini merupakan aktor yang mementingkan nilai dan tujuan dari pihak masyarakat itu sendiri. Disaat para pengusaha berorientasi pada private interest, dan pemerintah lebih berorientasi pada kepentingan publik, masyarakat sipil dalam hal ini menjadi aktor yang fokus terhadap kepentingan sebuah maupun beberapa kelompok yang menjadi bagian dari masyrakat. Dalam hal ini termasuk permasalahan kemiskinan, human right, lingkungan, dan juga masalah jender ataupun perempuan. Peran masyarakat sipil yang terkumpul dalam sebuah organisasi (CSO) pun membantu mereka yang berada dalam permasalahan-permasalahan tersebut untuk mencapai sebuah solusi dan juga keadaan yang lebih baik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Caroll bahwa masyarakat sipil dalam hal ini akan berkumpul bersama-sama dan menanggapi suatu isu secara detail, di luar pemerintah, dan memiliki keterkaitan dengan nilai ataupun kepentingan yang dianut, dan meminta dengan tegas agar institusi, negara, partai-partai politik dan juga dunia bisnis akan setuju dan menjalankan nilai-nilai yang dianut tersebut. Masyarakat sipil dalam hal ini bergerak secara kolektif dilingkup kepentingan bersama, nilai, dan tujuan yang mereka inginkan. 

Kemunculan isu jender dalam Hubungan Internasional pun pada dasarnya telah dimulai sebelum maraknya isu globalisasi menjadi sebuah pembicaraan dalam wacana-wacana internasional. Dijelaskan dalam tulisan Marianne Braig dan Sonja Woelte bahwa isu jender ini muncul setelah setelah isu development studies and international relations. Isu jender menjadi mulai serius dibicarakan dalam resolusi konflik dimulai karena kebijakan-kebijakan pertembuhan yang selama ini dikeluarkan mengalami kegagalan.Berjalannya waktu, isu jender ini pun berkembang dan menjadi sebuah bagian dari isu internasional dengan adanya sebuah tuntutan keadilan dan kesamaan antara perempuan dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) pada tahun 1979. CEDAW merupakan konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskrimansi terhadap perempuan yang berisi sebuah pernyataan hak asasi internasional untuk perempuan.. Tetap adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan pada semua tingkat pun merupakan pembicaraan yang diadakan pada peremuan selanjutnya pada tahun 1995, yaitu World Conference on Women di Beijing.

Fenomena globalisasi yang sekarang ini terjadi pun juga menuai beberapa kritik dalam masalah ketidakadilan jender, seperti yang terjadi dalam bidang ekonomi, politk, dan juga budaya. Secara ekonomi, terdapat adanya diskriminasi terhadap para pekerja perempuan baik dalam bidang posisi pekerjaan dan juga pendapatan yang diterima oleh perempuan. Secara politik, perempuan cenderung tersingkirkan dalam proses politik dan tidak memiliki peran dan cenderung tidak memiliki kontrol dalam tekanan ditingkat global. Begitu juga secara budaya, dimana beberapa negara memiliki sistem patriakrhi dalam budayanya yang membuat laki-laki selalu berada di depan perempuan. Perempuan dalam hal ini dituntut untuk selalu patuh terhadap laki-laki. Adanya ketidakadilan antara perempuan dalam laki-laki ini menimbulkan berbagai macam pergerakan dalam upaya mendorong perempuan untuk maju dan memiliki posisi yang sama dengan laki-laki, salah satunya pergerakan yang dilakukan oleh CSO-CSO tersebut. 

Korea adalah salah satu negara yang mengalami fenomena-fenomena tersebut. Sebagai sebuah negara dengan kemajuan tekhnologi dan ekonomi yang cukup signifikan, Korea pun memiliki permasalahan mengenai isu jender tersebut. Dalam dua dekade terakhir ini, Korea mengalami modernisasi baik secara industri dan ekonomi. Akan tetapi, modernisasi dalam masyarakatnya bukanlah sebuah hal yang mudah. Terdapat nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat baik dalam masyarakat dan juga institusi pemerintahan yang menjadi hambatan dalam modernisasi masyarakatnya. Dalam hal ini pun termasuk dalam kemajuan peran perempuan dalam masyarakat. Secara tradisional, terdapat ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki di Korea. Dalam sejarahnya, perempuan merupakan bagian dalam masyarakat yang cenderung terpinggirkan. Kuatnya nilai monarki dan sistem patriarkhi yang sangat mendominasi membuat perempuan berada posisi yang tidak sama dengan laki-laki. Selain itu nilai konfusianisme yang dianut oleh masyarakat Korea, yaitu “to the father when young, to the husband when married, and to the son in old age”, sangatlah memperjelas posisi perempuan yang berada di bawah laki-laki. 

Akan tetapi, dalam berjalannya waktu sekarang ini perempuan di Korea telah mengalami kemajuan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dalam partisipasi perempuan dalam parlemen itu sendiri terdapat peningkatan dari 6,08% pada tahun 2000 menjadi 13,4% pada tahun 2004. Tidak hanya partisipasi perempuan dalam politik saja yang mengalami peningkatan, partisipasi perempuan sebagai pekerja pun mengalami peningkatan di Korea. Modernisasi industri yang berjalan di Korea justru menghasilkan peningkatan partisipiasi pekerja perempuan. Antara tahun 1960 sampai 1991 jumlah pekerja perempuan di Korea mengalami peningkatan dari 2 juta pekerja menjadi 7,5 juta pekerja perempuan, dimana antara tahun tersebut peningkatan jumlah pekerja laki-laki hanya mengalami sedikit peningkatan.

Kemajuan para perempuan di Korea tersebut tidaklah lepas dari peranan CSO-CSO Korean yang menangani permasalahan perempuan. Akan tetapi, pergerakan CSO di Korea tidaklah juga berjalan mulus. Pergerakan-pergerakan CSO di Korea pun pada sejarahnya juga mengalami penentangan-penentangan dari pemerintah Korea. Dilihat dari sejarahnya, Korea dalam hal ini sempat mengalami masa pemerintahan otoriter seperti Shangman Rhee, Park Chung Hee, dan juga Chun Do Hwan yang sangat jelas menentang keberadaan pergerakan-pergerakan CSO tersebut. Sering kali, keberadaan pergerakan-pergerakan masyarakat tersebut dibubarkan yang seringkali menggunakan kekerasan, yang salah satunya terjadi pada masa pemerintahan Chun Do Hwan yang terkenal dengan nama Kwangju incident yang terjadi pada bulan Mei 1980. Akan tetapi, sejak tahun 1987 memasuki transisi kea rah demokrasi, CSO pun mulai mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sebagai pemain utama dalam politik Korea. Peran NGO dalam hal ini pun sebagai pengawas dalam pemelihan umum, meningkatkat partisipasi politik, membantu mengurangi korupsi politik, dan mengawasi berjalannya proses legislatif dalam National Assembly. Peran CSO tersebut juga salah termasuk diantaranya meningkatkan transparansi, dan mendorong terciptanya demokrasi di Korea.Proses demokrasisasi Korea ini juga menimbulkan isu-isu baru yang menjadi fokus baru bagi CSO-CSO di Korea, terutama isu-isu yang sebelumnya tidak tersentuh dan tidak terepresentasikan seperti isu perempuan dan lingkungan.

CSO perempuan Korea dalam hal ini mendorong peningkatan posisi perempuan baik dalam keluarga dan juga dalam pekerjaan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perempuan Korea dalam hal ini telah mengalami peningkatan dan kemajuan status di Korea, dan hal ini pada dasarnya tidaklah terlepas dari peran CSO sebagai organisasi yang menengahi pemerintah Korea dengan masyarakatnya. Hal ini juga terlihat dari meningkatnya jumlah CSO perempuan, dimana pada tahun 1980, CSO perempuan di Korea berjumlah 36 dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dimana pada tahun 1993 menjadi 78 organisasi.Tidak hanya itu organisasi perempuan Korea ini pun tidak semuan berjalan dalam jalur yang sama. Perbedaan visi membuat pergerakan mereka pun berbeda, ada yang bersifat mainstream da ada yang bersifat reformis. Perbedaan sifat organisasi ini pun pada akhirnya memberikan perbedaan dalam cara dan juga tujuan yang ingin mereka capai. Dengan demikian, penelitian ini akan mencoba menjawab Bentuk tindakan apakah yang dilakukan oleh CSO-CSO perempuan di Korea dalam rangka memajukan posisi perempuan di Korea? Dalam hal ini peneliti akan melihat baik dari sudut domestik dan juga hubungan CSO tersebut dengan arena internasional.

0 comments:

Post a Comment